Kebun kelapa sawit
percontohan milik Cargill hasilkan 9 ton/Ha
RABU, 27 MEI 2015 | 01:13 WIB ET
SURABAYA, kabarbisnis.com: Upaya
peningkatan produktivitas kelapa sawit oleh Cargill dan Institut Pertanian
Bogor (IPB) kiranya telah membuahkan hasil. Dari panen kelapa sawit perdana di
Kebun Pendidikan Kelapa Sawit IPB-Cargill (IPB-Cargill Oil Palm Teaching Farm)
di Bogor, Jawa Barat, produktifitasnya cukup tinggi, mencapai 8 ton hingga 9
ton per hektar. Padahal umumnya, produktifitas kelapa sawit mencapai 4 ton
hingga 5 ton per hektar.
Kebun pendidikan seluas 50 hektar
ini merupakan yang pertama di Indonesia yang disponsori Cargill dengan nominal
sumbangan US$ 250.000 pada tahun 2012.
Ketua Kebun Pendidikan Kelapa Sawit
IPB-Cargill Dr Sudradjat MS, menjelaskan, kolaborasi dengan Cargill di tiga
tahun terakhir ini sangat menggembirakan dalam upaya mendirikan salah satu
kebun pendidikan terbesar di dunia.
"Kebun pendidikan kelapa sawit
IPB-Cargill telah membantu untuk menumbuhkan profesional kelapa sawit generasi
selanjutnya yang setelah lulus akan masuk ke industri sebagai penganjur dan
praktisi produksi kelapa sawit berkelanjutan," ujar Sudrajat, Surabaya,
Selasa (26/5/2015).
Kebun pendidkan yang didirikan oleh
Cargill dan IPB pada Juli 2012 ini memproduksi sekitar 8 hingga 9 ton tandan
buah segar per hektar per tahun untuk panen pertamanya. Pohon sawit biasanya
berbuah pada usia 3 tahun. Umur produktif normal pohon kelapa sawit sekitar 20
tahun.
Sebagai kebun pendidikan kelapa
sawit pertama di Indonesia, kata Sudradjat, kebun ini merupakan bentuk skala
kecil dari perkebunan kelapa sawit komersial. Tiap semester sekitar 300
mahasiswa menjadikannya sebagai tempat praktikum dan 17 mahasiswa
penelitian dari program pasca sarjana dan PhD belajar mengenai produksi
berkelanjutan dan praktik-praktik manajemen pertanian terbaik.
"Kebun ini juga menjadi acuan
bagi perusahaan-perusahaan kelapa sawit lain dalam penerapan sertifikasi
Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesia Sustainable Palm Oil
(ISPO)," tambah Sudradjat.
Kebun pendidikan ini mendapatkan
penghargaan McDonald's 2014 kategori Best of Sustainable Supply karena dampak
yang diberikannya kepada komunitas. Kemitraan IPB-Cargill sejalan dengan
inisiatif tanggung jawab perusahaan Cargill yang fokus utamanya adalah
pendidikan dan pengembangan komunitas.
Chief Executive Officer Cargill
Tropical Palm, John Hartmann menegaskan membangun rantai pasokan kelapa sawit
berkelanjutan adalah upaya berbagai pemangku kepentingan. Dan ini termasuk
bagian upaya mendidik profesional dalam industri sejak dari awal.
"Kami bangga bisa bekerja sama
dengan Institut Pertanian terdepan Indonesia untuk membentuk profesional masa
depan yang akan membantu membentuk dan memimpin industri kami menuju
standar-standar keberlanjutan tinggi," katanya.
Ega Faustina mahasiswa program
master IPB yang ikut merasakan manfaat adanya Kebun Pendidikan Kelapa Sawit
IPB-Cargill mengaku sangat terbantu untuk meningkatkan ilmu yang ditekuninya.
Bahkan untuk program penelitiannya dilakukan di Kebun Pendidikan Kelapa Sawit
IPB-Cargill.
"Selama penelitian di Kebun
Pendidikan, saya mendapat banyak pengalaman yang sangat berharga mengenai
berkelanjutan dan juga pengetahuan industri kelapa sawit dari sumbernya
langsung," ujar Ega.
Perkebunan sawit milik Cargill, PT
Hindoli adalah salah satu perkebunan pertama di Indonesia yang mendapatkan
sertifiksi RSPO pada Februari 2009. Selain itu, juga menerima IPSO dan ISCC
masing-masing bulan Maret dan September 2013.
Di
Kalimantan Barat, PT Harapan Sawit Lestari juga menerima sertifikat RSPO pada
bulan Februari 2014 sementara PT Indo Sawit Kekal baru-baru ini menerima RSPO
di bulan Desember 2014. Cargill tengah berupaya untuk menyelaraskan perkebunan
Poliplant Group di Kalimantan Barat dengan praktik-praktik berkelanjutan dan
mendapatkan sertifikat RSPO.kbc6
Perusahaan sawit negara,
PT PN II Arso nyaris bangkrut. Kondisi ini, berimbas pada kehidupan
petani sawit, tak hanya mata pencarian mereka tergerus bahkan hilang, sebagian
terlilit utang bank hingga rumah atau kendaraan jadi sitaan. Mereka beralih
mata pencarian. Ada yang berkebun buah-buahan, beternak sampai kerja serabutan.
Miris, kala mereka mendapatkan penghasilan pun, ada yang langsung habis buat
bayar cicilan utang.
Sunardi, warga PIR I
Distrik Arso Kabupaten Keerom, Papua, mengatakan, kondisi mulai sulit, salah
satu harga buah sawit turun drastis pada 2013 dan 2014.
“Petani langsung nol,
tak dapat apa-apa. Akhirnya, lama-lama macet, pabrik rusak, sampai
sekarang tak jelas,” katanya.
Sunardi, salah satu
warga transmigrasi yang didatangkan pemerintah pada 1986 untuk jadi petani di
perkebunan sawit PTPN Arso. Satu rombongan dengan Sunarso, sekitar 100 keluarga
lain. Mereka ada di PIR I bersama warga trans lokal.
Sunardi mendapat satu
rumah, 0,25 hektar lahan untuk pekarangan 0,75 hektar lahan pangan, dan dua
hektar kebun sawit.
Sebagai warga
transmigrasi, katanya, kondisi di Arso saat itu sangat sulit. Dia bertekad
bertahan demi mengubah nasib. “Kalau saya dulu kerja nomor satu. Kalau sawit
bikin parit untuk aliran air, saya biasa ditaruh di depan. Sekarang mereka yang
sudah jadi asisten semua saya kenal,” kata pria yang juga pernah jadi Ketua
Paguyupan Masyarakat Jawa di Arso.
Ketekunan Sunardi hingga
diangkat jadi ketua kelompok tani. Lahan ulayat di Arso yang nganggur juga
dipercayakan kepada Sunardi untuk mengelola. Timbal balik berupa pembangunan
rumah hingga pembayaran biaya sekolah anak-anak warga ulayat.
Ada puluhan hektar lahan
sawit dikelola Sunardi dengan pendapatan sekitar Rp40-50 juta perbulan. Itu
dulu, kini kondisi berbeda.
“Terakhir, sekitar tiga
tahun lalu harga sawit turun. Saya rugi, saya langsung drop. Tapi
saya kembalikan lagi, mungkin ini cobaan Tuhan,” katanya.
Sunardi lalu mulai
membuka bengkel di rumahnya. Tanda-tanda bekas kejayaan masa sawit masih
terlihat. Rumah batu berdiri kokoh dan ada ruko di sampingnya. Rumah itu
berpagar besi dan terparkir satu mobil di halaman. Kini, di dalamnya
penuh sofa bekas dan beragam peralatan bengkel.
Sunardi tak lagi bertani sawit,
salah satu beternak ayam. Uang jualan ayam bisa buat membayar cicilan kredit
bank. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia
Di halaman belakang
rumah, Sunardi juga bikin peternakan ayam. Sejak pendapatan sawit berkurang,
dia segera beralih juga ke ternak ayam. Penghasilan ternak ayam inilah yang
menyelamatkan Sunardi dari jerat bank. Dengan dua kali panen ayam sebulan,
Sunardi mendapat sekitar Rp20 juta dan tidak serupiah pun dia terima.
“Yang jelas petani PIR
ini kita ibaratkan tinggal mati. Ini sudah gelisah semua. Saya sendiri
(mengalami). Saya paham betul. Orang–orang di PIR ini paling satu dua saja yang
dulu memang belum terbebani dengan sawit. Yang lain itu, tak ada yang sehat.
Semua ada urusan dengan bank.”
Selang dua rumah dari
lokasi Sunardi, satu rumah kosong. Di pintu rumah tertempel segel Bank Mandiri
atas tanah dan rumah.
Menurut Sunardi, dulu
ketika masih ada pendapatan bagus dari sawit, warga memberanikan diri kredit di
bank. Ada untuk biaya sekolah anak, beli kendaraan hingga membangun rumah dan
tempat usaha. Ternyata, kala hasil sawit lenyap, merekapun terlilit utang
bank. Sunardi sendiri berurusan dengan bank untuk pembelian mobil.
Untuk bertahan hidup,
warga kini beralih pekerjaan. Ada yang keluar dari PIR dan mencari lahan baru
atau jadi pekerja perkebunan sawit di Arso Timur. Ada yang mengembangkan ternak
sapi di kebun, tukang bangunan dan tukang ojek, ada juga yang menebang sawit
berganti tanaman lain.
“Saya kasihan dengan
teman-teman. Ada satu, gara-gara pengelolaan usaha tadi, karena bapak itu bikin
ruko, kios. Sebenarnya lahan banyak, karena sawit sudah tak ada dan dia
sudah berurusan dengan bank, akhirnya tergerus. Sampai rumah juga disegel
dua-duanya. Istri sakit dan akhirnya meninggal.”
Sunardi sering
berdiskusi dengan teman-teman petani senasib membahas situasi ini. Minim respon
berbagai pihak terkait soal kondisi petani sawit membuat Sunardi bingung.
Di PTPN II Arso, ada
1.800 keluarga mengelola perkebunan plasma dengan areal 3.600 hektar, sedangkan
kredit koperasi primer anggota (KKPA) terdiri 1.500 hektar.
Kebun sawit PT PN II Arso, di Tami.
Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia
Masa
tanam lagi, utang baru bagi petani?
Selain harga jatuh,
persoalan utama di Arso adalah produktivitas sawit makin menurun. Kebun plasma
masa tanam 1983 dan 1984, kini sudah 35 tahun. Padahal, usia 25-28 tahun
seharusnya sudah harus tanam baru. Produksi tandan buah segar sudah berkurang.
Mudrika, bendahara
koperasi petani di PIR II, mengatakan, rencana revitalisasi muncul sejak 2007.
Kala itu, koperasi-koperasi petani sudah hancur. Karena ada rencana
revitalisasi yang menyaratkan ada koperasi, mereka lalu membentuk koperasi
bernama Koperasi Engkawa. Hingga kini, revitalisasi tak ada kejelasan, sedang
petani kehilangan pendapatan.
“Kita punya pemahaman
karena dari pusat juga menyediakan bantuan perhektar Rp25 juta. Kalau satu
orang punya dua hektar berarti Rp50 juta bantuan itu. Kita hitung revitalisasi
hasil sekitar Rp100 juta. Kan tinggal cari tambah Rp50 juta.
Kalaupun kita harus utang Rp50 juta, tak terlalu berat,” katanya. Di
Koperasi Engkawa, sudah ada 70-an petani mengumpulkan sertifikat.
Petani di sini, kata
Murdika, selain kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, juga terlilit utang
karena kehilangan pendapatan. Sudah tiga rumah dan dua mobil tersita bank.
Hutapea, Ketua Asosiasi
Petani Sawit Keerom memberikan pendapat. Dia beralasan, kendala revitalisasi
karena data calon petani dan calon lahan (CPCL) hingga kini belum akurat.
Banyak lahan sudah berpindah tangan. Ada juga sudah diagunkan di bank.
“Kalau ini
(revitalisasi) dilaksanakan, berarti yang jadi jaminan koperasi itu
sertifikat. Itu semua tak lengkap. Itu permasalahannya.”
Guna agunan ke bank,
kata Hutapea, harus cek berapa keperluan dana untuk mencabut kembali hingga
bisa jadi sebagai jaminan revitalisasi. Dana itu, katanya, bisa
ditambahkan ke dalam kredit petani.
Upaya pengeceken
sertifikat-sertifikat itu, katanya, sudah pernah dilakukan di PIR I dan
II, namun tak ada kelanjutan tanpa alasan jelas.
Dia bilang, animo petani
merevitalisasi kurang. Situasi PTPN II Arso yang tak normal seperti pabrik
sawit selalu rusak jadi salah satu penyebab. Antrian panjang di pabrik sawit
hingga buah membusuk dan harga jatuh menjadi pengalaman buruk bagi petani.
Menurut Hutapea, kalau
tak memberikan nilai ekonomi seperti dulu, lebih baik beralih ke komoditi lain.
Petani KKPA, katanya, sudah banyak mengubah lahan ke tanaman lain.
Revitalisasi dia nilai
belum jelas karena belum tahu pelaksana dan belum ada aturan teknis
pelaksanaan.
Setelah pabrik berhenti
beroperasi hampir satu tahun, kini mulai beroperasi lagi tetapi pasokan TBS
petani makin berkurang. “Belum tentu masuk 100 ton per hari karena masyarakat
sudah tak mau.Tenaga kerja juga sudah hamper tak ada karena beralih ke
pekerjaan lain,” katanya.
Meskipun begitu, masih
ada petani panen sawit. Biasa, petani yang punya mobil sendiri dan mampu
membiayai pekerja.
Saat ini PTPN II
bekerjasama dengan PT. Eka Karya, membeli TBS petani untuk masuk ke pabrik PTPN
II. Hutapea bilang, PT. Eka Karya juga lambat membayar petani.
Wirya Supriyadi dari
Jaringan Kerja Rakyat Papua (Jerat Papua) mengatakan, sebenarnya ada program
revitalisasi pemerintah dari retribusi minyak sawit yang berada di bawah Badan
Pengelola Dana Perkebunan (BPDP). Namun, katanya, yang mendapatkan
alokasi dana dari sana justru perusahaan-perusahaan besar. Sedangkan perkebunan
sawit milik masyarakat hanya sisa.
“Banyak kebun sawit
rakyat beralih ke perusahaan karena masyarakat terlilit utang tapi namanya
tetap punya masyarakat.”
Salah satu rumah trans PIR I, yang
masih ditempati. KFoto: Asrida Elisabet/ Mongabay Indonesia
Masih
berharap revitalisasi?
Para petani pun berharap
ada penyelesaian dari pemerintah, baik kabupaten, provinsi maupun pusat.
Soal rencana
revitalisasi, Hutapea masih berharap kejelasan mulai CPCL, perusahaan
pelaksana, teknis pelaksanaan hingga penyelesaian masalah sertifikat yang masih
tertahan di bank.
Selain itu, katanya,
utang petani untuk revitalisasi—dana dari pemerintah– mulai, pembersihan lahan,
penanaman, perawatan sampai produksi, harus jelas dan transparan.
Hutapea juga meminta,
pemerintah memutus rantai harga sawit yang rendah dengan mendirikan pabrik
minyak jadi mini di Papua. “Masa kita panen sawit, kita kirim ke pabrik, kirim
ke Sumatera sana, jadi minyak goreng kita beli lagi,” katanya.
Kebun sawit di Papua,
katanya, sudah menyebar, seperti di Manokwari, Bintuni, Sorong, Nabire,
Merauke, Jayapura, Sarmi, dan Keerom. Jadi, katanya, bisa ada satu regulasi,
minyak-minyak sawit mentah diolah dan jadi minyak goreng maupun produk turunan
di Papua.
Laurens Manis, Ketua
Kelompok Tani di PIR II tak berniat revitalisasi. Sudah lama Laurens dan
anggota kelompok berhenti mengelola kebun sawit. Mereka menggantung hidup dari
budidaya pinang dan buah-buahan.
“Kelompok saya tak ada
yang panen sawit lagi. Sekarang saya hidup dari pinang. Saya budidaya pinang
sampai bisa kuliahkan anak. Sawit sudah lepas. Anggota yang lain sama juga. Ada
yang pelihara ternak, ada yang lari kasitinggal. Kalau sertifikat,
namanya petani pada umumnya, sertifikat sudah tidur nyenyak di
bank.”
Merespon kesulitan
petani, Asisten II Setda Kabupaten Keerom
Hulman Sitinjak
juga Ketua Tim Penyelesaian Masalah PTPN II Arso mengatakan, langkah pemerintah
kabupaten, pertama, mendorong revitalisasi. Kedua,
memastikan kontinuitas pengolahan TBS.
“Sebetulnya yang
ditakutkan kontinuitas pengolahan TBS itu. Selain revitalisasi, bagaimana
menjamin PTPN II menerima produksi TBS dari masyarakat? Kalau bisa
berjalan aman, nyaman dan berkelanjutan, masyarakat sendiri dengan kemampuan
mereka bisa replanting. Yang penting bagaimana PTPN II memberi
jaminan pasar.”
PTPN II alami kesulitan
finansial. Ada beberapa rekomendasi ditawarkan pemerintah daerah antara
lain, pertama, mendapat suntikan dana dari pemilik saham terbesar,
Kementerian BUMN atau tidak? Kedua, apakah mungkin kewenangan
diserahkan ke pemerintah daerah atau bagaimana dengan pihak ketiga andai
dijual ke pihak ketiga atau bekerjasama. Hingga kini belum ada keputusan dari
PTPN II. (Bersambung)
Foto utama: Rumah
petani sawit PIR I, tersegel bank. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia
Kebun sawit yang tak produktif lagi
di Arso. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia
. PERUSAHAAN
Bermanfaat
bagi Perusahaan
Keberlanjutan Bisnis
Asian Agri memiliki 27 kebun dengan kapasitas lebih dari 160.000
hektar areal yang telah ditanami kelapa sawit di Sumatera, Indonesia. Sebagian
besar dari tanaman kelapa sawit ini sedang memasuki masa paling produktif dari
25 tahun usia produktifnya.
Selama lebih dari 30 tahun, Asian Agri telah mengembangkan
sebuah strategi terpadu yang ditujukan untuk memproduksi dan mengolah produk
kelapa sawit. Strategi ini memanfaatkan seluruh keunggulan dari berbagai macam
kondisi alam di Indonesia sehingga membuat indonesia menjadi salah satu daerah
penghasil minyak sawit paling ideal di dunia. Tanaman tropis ini tumbuh subur
di sekitar 10 derajat Lintang Utara dan Selatan dari garis khatulistiwa --yang
membagi Sumatera menjadi dua bagian. Kondisi iklim yang mendukung antara dua
lintang ini dilengkapi pula oleh tanah yang subur dan ketersediaan tenaga kerja
yang berlimpah.
Konsistensi Persediaan
Fokus Continuous
Improvement Asian Agri adalah pada peningkatan Oil Extraction Rate(OER).
Asian Agri menjalankan Best
Practice Blok (BPB) sebagai langkah menuju ≥ 35 ton
TBS/hektar, maka potensi perolehan CPO yang dicapai sebesar ≥ 7.5 ton
CPO/hektar per tahun.
Kelapa sawit mempunyai keuntungan dari komoditas pertanian
lainnya yakni memiliki hasil yang optimal dan efisien dalam penggunaan lahan.
Kelapa sawit menggunakan 6% lahan di dunia namun mampu menghasilkan 7 - 10 kali
dibanding komoditas lainnya. Kelapa sawit dapat menghasilkan 4.17 ton per
hektar, jauh berbeda dengan tanaman lain. Kedelai misalnya, hanya mencapai 0.39
ton per hektar.
Lacak Balik
Penelusuran atau pelacakan (traceability)
adalah proses validasi pada tiap tingkat produksi di industri kelapa sawit.
Tujuan proses ini untuk memastikan bahwa setiap titik proses mendukung
berkelanjutan. Prinsip traceability ini
diperlukan untuk mendeteksi resiko di mana masih ada perusahaan yang
melakukan mixing antara Certificate Sustainable Palm Oil (CSPO)
dan unknown source,
sehingga perlu dilacak bahwa sawit tersebut benar-benar sustainable.
Melalui penelusuran, rantai pasokan minyak sawit dapat diakses
oleh semua orang. Setiap titik asal mulai dari perkebunan ke konsumen harus
didokumentasikan. Tingkat transparansi yang lebih tinggi digunakan sebagai
bukti untuk pengawas industri bahwa rantai pasokan kelapa sawit berasal dari
sumber yang jelas.
Penelusuran ini juga membantu menyingkirkan perusahaan nakal
yang gagal memenuhi standar ramah lingkungan. Dengan cara ini, setiap tetes
minyak sawit mentah bisa ditelusuri dan tentu memaksa perusahaan mematuhi
standar-standar untuk mencapai keberlanjutan yang sesungguhnya. Penelusuran
juga bisa memberikan kontribusi positif bagi kehidupan masyarakat setempat.
Sebagaimana seharusnya, proses tidak hanya memperhitungkan dampak lingkungan
dari produksi minyak sawit, tetapi juga dampak sosialnya. Penelusuran tidak
hanya menunjukkan asal minyak sawit dari sumber yang ramah lingkungan, tetapi
juga menunjukkan bukti bahwa perkebunan bertanggungjawab kepada masyarakat
lokal.
Kualitas Produk
Salah satu komitmen Asian Agri dalam menjaga kelestarian
lingkungan adalah dengan hanya menerima Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit
dari petani swadaya Asian Agri dan pemasok buah kelapa sawit pihak ketiga yang
menyertakan dokumentasi yang legal atas sumber TBS mereka. Hal ini untuk memastikan
pasokan TBS perusahaan berasal dari sumber kebun sawit yang legal guna mencegah
perambahan hutan alam dan kawasan lindung, menghentikan kegiatan perkebunan
sawit ilegal dan membangun rantai pasokan secara berkelanjutan.
Asian Agri juga merupakan perusahaan yang berkomitmen memberikan
insentif 4% kepada petani yang menghasilkan kualitas buah sawit yang telah
memenuhi standar sertifikasi internasional, RSPO. Hasilnya, para petani semakin
termotivasi memberikan TBS yang terbaik. Terbukti dengan lebih dari 72%
perkebunan inti dan plasma Asian Agri di Sumatra Utara, Riau dan Jambi telah
bersertifikat RSPO. Ditargetkan pada tahun 2015 seluruhnya telah mendapat
sertifikat RSPO.
Keterlibatan dengan Masyarakat
Asian Agri memberikan bimbingan dan pendampingan kepada petani
sawit, sejak masa pembibitan, perawatan, proses panen, hingga saat ini memasuki
masa replanting.
Asian Agri memberdayakan petani dalam mengembangkan metode perkebunan kelapa
sawit plasma dan swadaya. Asian Agri juga telah berkomitmen dalam membina
kelompok tani selama puluhan tahun, yang berimbas terhadap kesejahteraan para
petani. Kini kelompok tani yang berada di bawah binaan Asian Agri telah
menunjukkan perkembangan yang signifikan. Salah satunya dibuktikan dengan
pendapatan rata-rata petani yang berada diatas UMR provinsi.
Komitmen untuk bermitra dalam jangka panjang antara perusahaan
kelapa sawit dengan para petani ini menjadi salah satu indikator kesuksesan
bisnis minyak kelapa sawit yang berkelanjutan. Bentuk kemitraannya adalah
membekali para petani dengan ilmu dan pengetahuan mengenai perkebunan kelapa
sawit yang baik dan benar.
tbs
Harga TBS Kelapa Sawit Riau Lagi-Lagi Turun, Cek
Daftar Harganya
Selasa, 12 Februari 2019
13:40
kabarsawit.files.wordpress.com
Segar
(TBS) kelapa sawit Riau untuk periode satu pekan ke depan, yakni 13 sampai
dengan 19 Februari 2018 mengalami penurunan.
Pekan
atau periode lalu harga TBS Riau sempat turun tipis. Kondisi berlanjut di pekan
ini karena berbagai faktor.
Dinas
Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan (DTPHP) Provinsi Riau malalui Kasi
Pengolahan dan Pemasaran Perkebunan, Tengku Neni Mega Ayu, Selasa (12/2/2019)
mengungkapkan bahwa untuk periode 13 - 19 Februari 2019, penurun harga TBS
periode ini terjadi hampir di semua kelompok umur.
Paling
besar terjadi pada kelompok umur 3 tahun yang turun sebesar Rp 5,47 Kilogram
(Kg), sedangkan untuk kelompok umur 10 - 20 tahun hanya turun sebesar Rp
4,46/Kg.
"Pekan
ini penurunan harga TBS sawit Riau mencapai 0,28 persen dari harga minggu lalu,
sehingga harga TBS periode saat ini menjadi Rp 1.575,12/Kg, khususnya untuk
umur 10-20 tahun," ungkap Neni kepada tribunpekanbaru.com.
Neni
menjelaskan, penurunan harga TBS sawit Riau ini disebabkan oleh beberapa
faktor. Di antaranya karena adanya beberapa perusahaan sumber data yang
mengalami penurunan harga jual, terutama pada harga kernel yang seluruhnya
mengalami penurunan.
Selain
faktor tersebut, faktor lain yang juga menghambat trend positif harga sawit
Riau karena harga minyak kedelai yang merupakan produk substitusi minyak sawit
amblas. Kondisi itu membuat harga CPO ikut turun.
"Kalau
CPO harganya turun maka sawit pun ikut terimbas," jelasnya.
"Seperti
yang telah diketahui sebelumnya, lebih dari separuh ekspor kedelai AS dibeli
oleh China, namun hubungan kedua negara kembali memburuk sehingga mempengaruhi
harga minyak kedelai. Ini faktor pendukung lainnya harga sawit kita,"
tambahnya.
Artikel ini telah tayang di Tribunpekanbaru.com dengan judul Harga TBS Kelapa Sawit Riau Lagi-Lagi Turun, Cek Daftar Harganya, http://pekanbaru.tribunnews.com/2019/02/12/harga-tbs-kelapa-sawit-riau-lagi-lagi-turun-cek-daftar-harganya.
Penulis: Hendri Gusmulyadi
Editor: Ariestia
Menurut Kepala
Badan Penelitian dan Pengembangan Riau, Prof Dr Ir Tengku Dahril M.Sc, hasil
riset, cangkang kelapa sawit bila ditembak gelombang mikro akan hasilkan panas
3.000 derajat celcius. Panas ini potensial sebagai pembangkit listrik. Limbah
cair kelapa sawit, bisa menjadi media tumbuh micro algae.
Neni
mengaku, selain alasan-alasan itu, harga TBS Riau juga terpengaruh oleh
pergerakan harga CPO yang terdampak dari melemahnya harga minyak bumi.
Kondisi
ini juga menjadi penyebab karena CPO merupakan salah satu bahan baku produksi
biodisel yang merupakan tandingan dari solar olahan minyak bumi.
Umur 3th
(Rp 1.166,44);
Umur 4th (Rp 1.261,65);
Umur 5th (Rp 1.376,91);
Umur 6th (Rp 1.409,70);
Umur 7th (Rp 1.464,58);
Umur 8th (Rp 1.504,75);
Umur 9th (Rp 1.539,55);
Umur 10th-20th (Rp 1.575,12);
Umur 21th (Rp 1.509,26);
Umur 22th (Rp 1.501,81);
Umur 23 th (Rp 1.495,60);
Umur 24 th (Rp1.433,47);
Umur 25 th (Rp 1.399,30);
Umur 4th (Rp 1.261,65);
Umur 5th (Rp 1.376,91);
Umur 6th (Rp 1.409,70);
Umur 7th (Rp 1.464,58);
Umur 8th (Rp 1.504,75);
Umur 9th (Rp 1.539,55);
Umur 10th-20th (Rp 1.575,12);
Umur 21th (Rp 1.509,26);
Umur 22th (Rp 1.501,81);
Umur 23 th (Rp 1.495,60);
Umur 24 th (Rp1.433,47);
Umur 25 th (Rp 1.399,30);
Harga CPO
Rp. 7.167,57
Harga Kernel Rp. 4.510,11
TURUN Rp 4,46 per Kg utk umur 10-20 th.
Harga Kernel Rp. 4.510,11
TURUN Rp 4,46 per Kg utk umur 10-20 th.
Artikel ini telah tayang di Tribunpekanbaru.com dengan judul Harga TBS Kelapa Sawit Riau Lagi-Lagi Turun, Cek Daftar Harganya, http://pekanbaru.tribunnews.com/2019/02/12/harga-tbs-kelapa-sawit-riau-lagi-lagi-turun-cek-daftar-harganya?page=2.
Penulis: Hendri Gusmulyadi
Editor: Ariestia
Harga TBS Sawit Sumsel Periode II Maret 2019 Turun Rp 39.37/Kg
InfoSAWIT, PALEMBANG – Merujuk hasil rapat dari tim
penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS) Sawit Provinsi Sumatera Selatan
(Sumsel) periode II tgl 18 Maret 2019, telah menetapkan harga sawit umur 10 -
20 tahun turun Rp 39.37/kg menjadi Rp 1.364,62/Kg.
Berikut
harga sawit Sumsel berdasarkan penelusuran InfoSAWIT, sawit umur 3 tahun Rp
1.186,20/Kg; sawit umur 4 tahun Rp 1.217,81/Kg; sawit umur 5 tahun Rp
1.246,68/Kg; sawit umur 6 tahun Rp 1.272,24/Kg; sawit umur 7 tahun Rp
1.295,16/Kg; sawit umur 8 tahun Rp 1.315,99/Kg.
Sementara
sawit umur 9 tahun Rp 1.333,62/Kg dan sawit umur 10-20 tahun Rp 1.364,62/Kg,
sawit umur 21 tahun Rp 1.346,23/Kg, dan sawit umur 22 tahun Rp 1.330,68/Kg,
sawit umur 23 Rp 1.312,27/kg, sawit umur 24 Rp 1.291,32/Kg dan sawit umur 25 Rp
1.240,90/Kg. Dimana harga minyak sawit mentah (CPO) ditetapkan Rp 6.577,48/Kg
dan harga Kernel Rp 3.909,99/Kg dengan indeks K 84,00%. (T2)
pemasaran
Penelitian ini bertujuan
(1). Mendeskripsikan saluran, lembaga dan fungsi pemasaran TBS kelapa sawit di
Desa Jelutung II Kecamatan Simpang Rimba Kabupaten Bangka Selatan. (2).
Menghitung efisiensi saluran pemasaran TBS kelapa sawit di Desa Jelutung II
Kecamatan Simpang Rimba Kabupaten Bangka Selatan. Tempat dan waktu penelitian
ini dilaksanakan di Desa Jelutung II Kecamatan Simpang Rimba Kabupaten Bangka
Selatan dan Waktu pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan September 2016
hingga bulan Juni 2017. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode surve
sedangkan Metode penarikan contoh yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan sampling kuota (Quota Sampling). Lokasi penelitian ini ditentukan
secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa di Desa Jelutung II
merupakan desa yang memiliki luas areal 750 hektar lahan perkebunan kelapa
sawit yang paling luas di Kecamatan Simpang Rimba, Menurut data Profil Desa
(2016). Waktu pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan September 2016 hingga
bulan Juni 2017. Penelitian dimulai dari tahap pembuatan proposal, pengambilan
data hingga tahap penyelesaian laporan akhir penelitian. Metode pengolahan dan
analisis data menjelaskan secara desktiptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil
penelitian ini menunjukan (1). Saluran pemasaran Tandan Buah Segar TBS kelapa
sawit di Desa Jelutung II, yakni petani > pedagang pengepul > pemilik
Delivery Order (DO) > PT Bumi Sawit Sukses Pratama (BSSP) di Desa Simpang
Rimba dan Desa malik. Fungsi pemasaran yang dilakukan petani yakni fungsi
pertukaran, seperti jual, fungsi fisik seperti sortasi, angkut dan fungsi
fasilitas seperti biaya dan fungsi pemasaran dilakukan pedagang pengepul yakni
fungsi pertukaran seperti jual, beli, fungsi fisik seperti simpan, sortasi,
angkut dan fungsi fasilitas seperti resiko, biaya. (2). Saluran Pemasaran
Tandan Buah Segar TBS kelapa sawit di Desa Jelutung II Sudah Efisien dengan
Farmer’s Share, sebesar 81,0 persen dan 80,0 persen dengan margin Rp 245 per
kilogram dan Rp 242 per kilogram
Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi faktor penentu besaran Indeks K dimana nilai
Indeks K ini digunakan untuk penetapan harga Tandan Buah Segar kelapa sawit
(TBS) yang dipedomi oleh perusahaan pabrik kelapa sawit dan petani. Analisis
regresi dilakukan terhadap data historis bulanan dari tahun 2001 sampai 2012
yang bersumber dari data penetapan harga TBS di Dinas Perkebunan Provinsi
Jambi. Dengan tingkat kesesuaian model (R2) sebesar 41.9, pengujian hipotesis
pengaruh biaya pengolahan TBS menjadi Crude Palm Oil (CPO) dan minyak Inti
Sawit (Palm Kernel Oil), biaya pemasaran, biaya penyusutan dan biaya operasional
tidak langsung terhadap besaran indek K menunjukkan bahwa, harga biaya tidak
langsung yang berpengaruh nyata terhadap besaran nilai Indeks K, sementara
variabel lainnya berpengaruh negatif tetapi tidak nyata dengan tingkat
kepercayaan 10 persen. Kebijakan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dalam pembelian TBS
menunjukkan bahwa PKS dengan Pola PIR Trans plus KKPA menetapkan harga di bawah
harga ketetapan, sementara PKS pada pola PIR menetapkan harga di bawah harga
ketetapan. Dari hasil penelitian juga ditemukan bahwa perusahaan yang mengelola
kebun dengan pola KKPA menetapkan harga beli sesuai dengan ketetapan Tim
Penetapan Harga TBS.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis: 1) saluran,
marjin pemasaran dan bagian dari harga yang diterima petani. 2) sambungan atau
korelasi antara harga minyak sawit yang dibayarkan kepada petani Organisasi
PKS. Metode survei yang digunakan dengan purposive sampling untuk petani.
Sampel dari umur tanaman 7-10. dengan mengambil 10% dari populasi sehingga
sampel diambil 22 216 petani. Sampel pedagang dan PKS menggunakan metode
snowball sampling. Desa Simpang Kelayang Kecamatan Kelayang terdapat tengkulak
yang menjadi perantara petani-pedagang-PKS. Petani harga jual ke pedagang pada
bulan Februari 2015 adalah Rp. 1.326,36 / kg dan pedagang menjual ke PKS untuk
Rp. 1.790,64 / kg. Margin Maret 2014- Februari 2015 adalah bulan tertinggi
Januari 2015 sebesar Rp. 420,26 / Kg. Margin terendah di April 2014 sebesar Rp.
125,40 / Kg TBS pemasaran Efisiensi Dalam Februari 2015 sebesar 14,28 persen
dari total marjin pemasaran dari USD 464,28 / Kg dan bagian dari petani
menerima 73,03 persen. nilai korelasi harga (r) di tingkat petani dengan
pedagang sebesar 0.832 Kata kunci: Marjin Pemasaran, Harga Korelasi,
elastisitas, Efesiensi PemasaranThis study aims to find and know, and analyze:
1) channels, marketing margin and part of the price received by farmers. 2)
connection or correlation between the price of palm oil paid to the farmer MCC
Organization. This study used survey method, with purposive sampling to
farmers. Samples of plant age 7-10. with a determined 10% of the population so
that the sample was taken 22 216 farmers. Samples traders and MCC using
snowball sampling method. Desa Simpang Kelayang District of Kelayang there is a
middleman that farmer-trader-MCC. Farmer selling price to wholesalers in
February 2015 is Rp. 1326.36 / kg and traders selling to the MCC for Rp.
1790.64 / kg. Margin of March 2014- February 2015 were the highest month of
January 2015 amounted to Rp. 420.26 / Kg. The lowest margin in April 2014
amounted to Rp. 125.40 / Kg TBS marketing Efficiency In February 2015 amounted
to 14.28 percent of total marketing margin of USD 464.28 / Kg and part of
farmers received 73.03 percent. price correlation values (r) at the level of
farmers with traders amounted to 0.832
INTISARI
Penjualan tandan buah segar di Kecamatan Putri Hijau memiliki beragam variasi
saluran pemasaran dari petani hingga konsumen. Beragam perbedaan saluran
pemasaran memberikan indikasi perbedaan tingkat harga yang diterima petani dan
besarnya biaya yang dikeluarkan oleh setiap lembaga pemasaran, seperti biaya
angkut, biaya transportasi ke pabrik, biaya susut buah, dan biaya-biaya
lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi saluran pemasaran dan
membandingkan efisiensi saluran pemasaran tandan buah segar (TBS) kelapa sawit
yang terbentuk di Kecamatan Putri Hijau, Bengkulu Utara. Penentuan responden
petani dilakukan secara purposive sampling sebanyak 41 orang, dan responden
lembaga pemasaran menggunakan metode snowball sampling. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat tiga saluran pemasaran TBS kelapa sawit yang
terbentuk yaitu Saluran I (petani - pedagang pengumpul - pabrik), Saluran II
(petani - kelompok tani – pabrik), saluran III (petani-pabrik). Saluran yang
paling banyak digunakan oleh petani adalah saluran I (petani - pedagang
pengumpul - pabrik) yang memiliki margin tertinggi dan farmer’s share yang
rendah. Margin tataniaga dan rasio keuntungan terhadap biaya menunjukkan bahwa
hanya saluran pemasaran I di Desa Kota Bani yang efisien. Saluran pemasaran I
di Desa Kota Bani memiliki nilai margin pemasarannya sebesar Rp206/kg dengan
nilai rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran sebesar 1,17. Kata kunci:
efisiensi pemasaran, saluran pemasaran, tandan buah segar. 29 Vol. 4 No. 1
Januari-Juni 2018 PENDAHULUAN Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang
memiliki andil besar dalam menghasilkan pendapatan asli daerah, produk domestik
bruto, dan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan komoditas kelapa sawit di
Sumatera Utara mendorong penyediaan lapangan kerja yang cukup besar (Afifuddin
& Kusuma, 2007). Kegiatan perkebunan kelapa sawit telah memberikan pengaruh
eksternal yang positif bagi wilayah sekitarnya (Syahza, 2011). Luas perkebunan
kelapa sawit di Propinsi Bengkulu memiliki 309.100 ha (BPS, 2013), yang
sebagian besar lahan tersebut merupakan perkebunan rakyat. Komoditas ini telah
menjadi tulang punggung ekonomi bagi sebagian besar rumah tangga petani di
Provinsi Bengkulu (Sukiyono, K., Cahyadinata, Purwoko, Widiono, Sumartono,
Asriani & Mulyasari, 2017). Sebagai kabupaten yang sedang mengembangkan
komoditas kelapa sawit di Provinsi Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Utara memiliki
luas lahan perkebunan sawit yang cukup besar yakni mencapai luas 27.948 ha
dengan rincian 9.077 ha (Tanaman Belum Menghasilkan/TBM), 18.088 ha (Tanaman
Menghasilkan/ TM) dan 783 ha (Tanaman Telah Menghasilkan/TTM) dengan jumlah
petani 17. 251 orang (Ditjenbun, 2017). Pengembangan kelapa sawit oleh petani
di Bengkulu Utara termotivasi oleh pembukaan perkebunan berskala besar dan
pendirian pabrik-pabrik pengolah hasil perkebunan. Hal ini membuka wawasan
petani yang berdomisili di sekitar perkebunan tersebut untuk menanam kelapa
sawit, bahkan banyak petani yang mengkonversi komoditas menjadi kelapa sawit.
Pendapatan petani yang sebagian besar atau 90,69% berasal dari kelapa sawit,
menyebabkan petani menaruh harapan besar terhadap usahatani yang mereka kelola
(Aprizal, Asriani, & Sriyoto, 2013). Dalam memasarkan hasil perkebunannya,
perbedaan pemilihan saluran pemasaran menghasilkan perbedaan harga yang
diterima oleh petani. Hal ini disebabkan setiap saluran pemasaran melibatkan
jumlah lembaga pemasaran yang berbeda pula. Panjangnya saluran pemasaran
berpengaruh terhadap penambahan biaya yang muncul dari setiap lembaga pemasaran
tersebut. Sebaliknya, semakin pendek saluran tataniaga, maka biaya dan margin
tataniaga semakin rendah, harga yang harus dibayarkan konsumen semakin rendah,
harga yang diterima produsen semakin tinggi (Daniel, 2005). Kedua kondisi
kontradiktif tersebut terbukti secara empiris pada, cabai merah keriting di
Kecamatan Ngemplak Kabupaten Sleman (Istiyanti, 2010) dan pemasaran TBS di Desa
Meranti Paham, Kecamatan Panai Hulu Kabupaten Labuhan Batu (Harahap,
Simanullang, & Romadon, 2017). Kecamatan Putri Hijau memiliki potensi besar
dalam menghasilkan komoditas kelapa sawit dengan luas lahan perkebunan mencapai
1.978,82 Ha (Badan Penyuluhan Pertanian Putri Hijau, 2015). Namun dalam
memasarkan hasil perkebunannya, kondisi infrastruktur utama sangat beragam di
desa-desa yang berada dalam wilayah Kecamatan Putri Hijau. Wilayah Kecamatan
Putri Hijau telah memiliki infrastruktur jalan yang sudah baik, cukup dekat
dengan akses jalan utama kabupaten dan memiliki kedekatan jarak dengan pabrik
kelapa sawit. Hal ini menjadikan para petani di wilayah tersebut lebih memilih
menggunakan mobil atau truk sebagai alat angkut hasil panennya. Namun masih ada
sebagian kecil desa-desa di wilayah Kecamatan Putri Hijau yang memiliki akses
jalan kurang baik. Desa-desa ini berada cukup terpelosok sehingga jarak tempuh
yang harus dilalui menuju pabrik kelapa sawit cukup jauh. Kondisi ini
menjadikan para petani kelapa sawit di wilayah tersebut lebih memilih
menggunakan motor untuk mengangkut hasil panennya dibanding menggunakan alat
transportasi roda empat. Umumnya para petani tidak langsung membawa hasil
panennya ke pabrik, namun terlebih dahulu mengumpulkannya di tempat pengumpulan
hasil panen (TPH). Penelitian ini menjadi menarik karena lokasi penelitian
mengambil sample di dua desa yang memiliki kondisi infrastruktur jalan dengan
jarak tempuh menuju pabrik kelapa sawit yang berbeda. Atas dasar hal tersebut,
penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi saluran pemasaran dan
membandingkan efisiensi pemasaran pada setiap saluran pemasaran TBS yang
terbentuk di Kecamatan Putri Hijau. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan
di Kecamatan Putri Hijau, Kabupaten Bengkulu Utara. Penentuan daerah penelitian
dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Putri Hijau
tersebut memiliki luas lahan dan produksi kelapa sawit kelima tertinggi di Kabupaten
Bengkulu Utara (Dinas Perkebunan Kabupaten Bengkulu Utara, 2013). Penelitian
ini dilakukan pada bulan Mei sampai Juni 2016. Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh
melalui pengamatan secara langsung (observasi), wawancara dengan menggunakan
daftar pertanyaan (kuesioner) kepada pelaku pemasaran. Pengamatan secara
langsung juga dilakukan terhadap kegiatan pemasaran, saluran pemasaran dan
lembaga-lembaga yang terlibat dalam saluran pemasaran kelapa sawit. 30 AGRARIS:
Journal of Agribusiness and Rural Development Research Pengambilan sampel
wilayah (desa) dilakukan dengan metode Purposive Sampling yaitu Desa Karang
Tengah dan Desa Kota Bani dengan pertimbangan kedua desa tersebut memiliki luas
lahan, beragam kualitas insfrastruktur jalan dan jumlah usahatani kelapa sawit
terbanyak di Kecamatan Putri Hijau. Saluran pemasaran TBS untuk Desa Karang
Tengah, yang mewakili lokasi desa dengan akses jalan yang kurang baik dengan
jarak tempuh cukup jauh dari pabrik kelapa sawit. Penentuan jumlah sampel
petani menggunakan rumus Slovin (Nazir, 1988) dengan Margin Error responden ini
ditetapkan sebanyak 15%. Jumlah responden penelitian sebanyak 41 orang petani
dari 444 orang populasi petani sawit yang tercatat di kedua desa tersebut
(Badan Penyuluhan Pertanian Putri Hijau, 2015). Pemilihan responden dilakukan
secara purposive dengan kriteria petani yang terpilih memiliki tanaman kelapa
sawit yang sudah berproduksi dan sudah dipasarkan. Untuk melihat efisiensi saluran
pemasaran dan margin pemasaran, lembaga pemasaran yang dijadikan sampel terdiri
dari pedagang pengumpul tingkat kecamatan/desa, dan pengurus kelompok tani.
Responden lembaga pemasaran yang diwawancarai dipilih berdasarkan alur
tataniaga TBS di lokasi penelitian. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode
snowball, yakni dengan menelusuri alur pemasaran dari petani TBS hingga
konsumen akhir (PKS). Jumlah responden lembaga pemasaran sebanyak 8 orang yang
terdiri dari 6 pedagang pengumpul dan 2 pengurus kelompok tani. Identifikasi
saluran pemasaran TBS kelapa sawit dijelaskan secara deskriptif dengan
menggambarkan pola saluran pemasaran tandan buah segar dari petani sawit sampai
kepada pabrik kelapa sawit yang terletak di tingkat kecamatan. Farmer’s share
adalah menghitung besarnya bagian yang diterima petani kelapa sawit dengan
membandingkan antara harga yang pada petani dengan harga pada konsumen akhir.
Dalam penelitian ini konsumen akhirnya adalah Pabrik Kelapa Sawit (PKS).
Melalui farmer’s share dapat diketahui efisien atau tidaknya sebuah saluran
tataniaga. Perbandingan efisiensi saluran pemasaran dianalisis dengan
pendekatan analisis margin pemasaran, analisis bagian harga petani (farmer’s
share), dan analisis rasio keuntungan dan biaya. Analisis margin pemasaran
digunakan untuk mengetahui perbedaan pendapatan yang diterima oleh
masing-masing lembaga pemasaran yang terlibat. Margin pemasaran adalah
perbedaan harga yang dibayar oleh konsumen akhir untuk suatu produk dan harga
yang diterima petani (produsen) untuk produk yang sama (Azzaino, 1983).
Analisis margin pemasaran dilakukan berdasarkan harga rata-rata TBS dari
tingkat petani hingga PKS sebagai konsumen akhir. Satuan harga margin pemasaran
dihitung dalam satuan Rp/Kg. Analisis margin tataniaga bertujuan untuk
mengetahui tingkat efisiensi dari pemasaran TBS di Kecamatan Putri Hijau. Untuk
menghitung margin pemasaran, data harga yang digunakan adalah harga di tingkat
petani dan harga di tingkat lembaga pemasaran (Asmarantaka, 2012; Lubis, 2016),
sehingga digunakan rumus: Mi = Psi – Pbi (1) Keterangan: Mi= margin pemasaran
tingkat ke-i; Psi = harga jual pasar di tingkat ke-i; Pbi = harga beli pasar di
tingkat ke-i. Margin tataniaga juga dapat dihitung dari penjumlahan biaya dan
keuntungan pada masing-masing lembaga pemasaran. Secara matematis dirumuskan
sebagai berikut: Mi = Ci + Ài (2) Keterangan: Ci = biaya lembaga pemasaran di
tingkat kei; Ài = Keuntungan lembaga pemasaran di tingkat ke-I; Dari dua
persamaan tersebut, maka diperoleh: Psi – Pbi = Ci + pi (3) Oleh karena itu,
keuntungan lembaga pemasaran di tingkat ke-i sebesar: pi = Psi – Pbi – Ci (4)
Analisis bagian harga petani bermanfaat untuk mengetahui bagian harga yang
diterima oleh petani dari harga di tingkat konsumen yang dinyatakan dalam persentase.
Besarnya bagian harga yang diterima petani (Tety et al, 2013; Octaviani et al,
2014; Lubis, 2016; Sumiati, 2017), diformulasikan sebagai berikut: Fs= Pf Pr X
100 % Keterangan: Fs = farmer’s share; Pf = harga di tingkat produsen/petani
(Rp/kg); Pr = harga di tingkat konsumen (Rp/kg). Rasio keuntungan terhadap
biaya (R/C Ratio) dapat digunakan untuk melihat efisiensi suatu sistem
pemasaran. Rasio keuntungan dan biaya pemasaran mendefinisikan besarnya
keuntungan yang diterima atas biaya pemasaran yang dikeluarkan. Nilai rasio
keuntungan terhadap biaya lebih dari satu hal ini berarti saluran tersebut
layak untuk dijalankan dan telah memberikan keuntungan kepada lembaga pemasaran
yang terlibat didalamnya. Rasio keuntungan dan biaya (Analisis R/C Ratio) adalah
persentase keuntungan pemasaran terhadap biaya pemasaran yang secara teknis
untuk mengetahui tingkat efisiensinya. Penyebaran rasio keuntungan dan biaya
pada masing- masing lembaga pemasaran dapat dirumuskan sebagai berikut: Rasio
Keuntungan Biaya:: π= Li Ci ൗ
(Lubis, 2016) Keterangan: Li = keuntungan lembaga pemasaran; Ci = biaya
pemasaran. 31 Vol.4 No.1 Januari-Juni 2018 HASIL DAN PEMBAHASAN SALURAN
PEMASARAN TANDAN BUAH SEGAR KELAPA SAWIT DI KECAMATAN PUTRI HIJAU Saluran
pemasaran adalah lembaga-lembaga yang mempunyai kegiatan untuk menyalurkan atau
menyampaikan barang-barang atau jasa dari produsen ke konsumen (Mursid, 1997).
Saluran pemasaran terbagi ke dalam beberapa tingkatan, yakni saluran nol
tingkat, saluran setingkat, saluran dwi tingkat, dan saluran tri tingkat
(Swasta, 2002). Saluran pemasaran yang terlibat dalam tataniaga TBS kelapa
sawit umumnya satu tingkat, yakni: Petani à Pedagang pengumpul à Pabrik Kelapa
Sawit (Sumiati, Rusida, & Idawati, 2017). Namun di daerah lain, terdapat saluran
pemasaran TBS yang lebih kompleks dengan melibatkan lebih banyak pelaku
pemasaran. Saluran pemasaran TBS di Kabupaten Kutai Kartanegara melibatkan
pedagang perantara dan pemilik Surat Pengangkut Buah (pe.SPB) sebagai lembaga
pemasaran (Nugroho, 2015). Berdasarkan hasil penelitian di dua lokasi sampel
penelitian yakni di Desa Karang Tengah dan Desa Kota Bani, terdapat tiga
saluran pemasaran yang telah terbentuk selama ini, yakni: a. Saluran pemasaran
I: Petani ®
pedagang pengumpul ®
pabrik b. Saluran pemasaran II: Petani ® kelompok tani ®
pabrik c. Saluran pemasaran III: Petani ® pabrik Saluran III dapat
dikategorikan sebagai saluran nol tingkat (Swasta, 1991). Sebagaimana umumnya
desa-desa sentra perkebunan kelapa sawit rakyat, para petani di Desa Karang Tengah
dan Desa Kota Bani memiliki kebebasan dalam memilih saluran pemasaran dalam
penjualan hasil panennya. Pemasaran TBS ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dilakukan
petani melalui lembaga pemasaran yang tersedia di desa tersebut, seperti
melalui pedagang pengumpul, pedagang besar atau langsung dijual ke PKS.
Penelitian serupa di Desa Meranti, Kabupaten Labuhan Batu menunjukkan bahwa
petani memilih pedagang pengumpul sebagai perantara untuk menyalurkan TBS
kepada pedagang besar dan kemudian menjualnya ke PKS (Harahap, Simanullang,
& Romadon, 2017). Di Desa Karang Tengah pada saluran pemasaran I, sebanyak
52,17% petani menjual TBS kepada pedagang pengumpul (Gambar 1). Alasan yang
mendasari petani menjual kepada agen kecil ialah luas lahan perkebunan yang kecil
dan jarak lahan perkebunan yang jauh dari PKS dan tempat pedagang besar (Lubis
& Tinaprilla, 2016). Di desa ini, terdapat tiga orang pedagang pengumpul
yang berfungsi sebagai lembaga pemasaran. Pedagang pengumpul tersebut mampu
menampung TBS petani sekitar 32.967 kg/bulan dengan tawaran harga Rp 1.097/Kg.
Meskipun harga di tingkat pedagang pengumpul cenderung lebih rendah dibanding
lembaga pemasaran lain, saluran ini lebih banyak diminati petani karena sistem
pembayaran yang terjadi bersifat tunai (langsung dibayar di tempat). Pada
saluran pemasaran II, terdapat 39,13% petani yang menjual TBS ke kelompok tani.
Terdapat dua kelompok tani di Desa Karang Tengah. Setiap bulannya kelompok tani
tersebut mampu menampung hasil TBS petani sekitar 43.197 kg dengan harga Rp
1.320/kg. Harga yang diterima petani jika menjual ke kelompok tani cenderung
lebih baik daripada saluran pemasaran lainnya. Namun, baru sepertiga petani
Desa Karang tengah yang mau menjual hasil panennya melalui kelompok tani. Hal
ini dikarenakan sistem pembayaran di kelompok tani yang tidak langsung tunai,
artinya petani masih harus menunggu setidak-tidaknya dua minggu setelah TBS
diantar ke PKS oleh kelompok tani. Petani kelapa sawit Pedagang pengumpul
Kelompok tani Pabrik III. 8,70 % I. 52,17 % II. 39,13 % GAMBAR 1. SKEMA SALURAN
PEMASARAN TANDAN BUAH SEGAR KELAPA SAWIT DESA KARANG TENGAH KECAMATAN PUTRI
HIJAU 32 AGRARIS: Journal of Agribusiness and Rural Development Research Pada
saluran pemasaran III, terdapat 8,70% petani yang menjual TBS secara langsung
ke PKS. Kuantitas TBS yang dijual ke PKS sekitar 17.224 kg/bulan dengan harga
Rp 1.303/Kg. Petani yang menjual langsung TBSnya ke PKS adalah petani-petani
yang memiliki lahan kelapa sawit yang luas rata- rata ± 2 Ha.. Di Desa Kota
Bani, terdapat 55,56% petani yang menjual TBS kepada pedagang pengumpul (Gambar
2). Terdapat tiga orang pedagang pengumpul di desa ini. Pedagang pengumpul
tersebut mampu menampung TBS petani sekitar 25.090 Kg/ bulan dengan tawaran
harga Rp 1.097/Kg. Sama seperti di Desa Karang Tengah, petani di Desa Kota Bani
lebih banyak menjual hasil panennya kepada pedagang pengumpul karena alasan
sistem pembayaran yang tunai. Pedagang pengumpul di desa ini tidak memungut
biaya-biaya pemasaran (transportasi, bongkar muat, penimbangan) kepada petani.
Petani hanya dikenakan pajak pendapatan asli daerah (PAD) sebanyak 1% dari
hasil produksi, yang akan dibayarkan ke kantor desa. Terdapat 22,22% petani di
Desa Kota Bani yang menjual TBS ke kelompok tani (Saluran Pemasaran II) dengan
harga jual Rp 1.320/kg. Berbeda dengan Desa Karang Tengah, hanya terdapat 1
kelompok tani di Desa Kota Bani. Ratarata jumlah TBS petani yang ditampung
kelompok tani adalah 18.364 kg/bulan. Sedangkan pada saluran pemasaran III,
terdapat 22,22% petani yang menjual TBS langsung ke pabrik dengan jumlah TBS
40.144 kg/bulan pada tingkat harga Rp. 1.303/Kg. Di Desa Kota Bani, jumlah
petani yang menjual langsung TBS ke pabrik lebih besar dibandingkan dengan
petani di Desa Karang Tengah. Hal ini disebabkan oleh akses jalan yang dimiliki
Desa Kota Bani lebih bagus, dekat dengan akses jalan utama kabupaten dan jarak
tempuh menuju pabrik kelapa sawit cukup dekat. Kemudahan tersebut membuat para
petani yang memiliki kapasitas produksi lebih besar, lebih memilih untuk
membawa sendiri hasil panennya ke pabrik daripada menjual TBS ke pedagang
pengumpul atau ke kelompok tani. Secara keseluruhan, dari tiga saluran
pemasaran TBS yang teridentifikasi di kedua desa di Kecamatan Putri Hijau,
saluran pemasaran I (petani – pedagang pengumpul – pabrik) merupakan saluran
yang paling mendominasi pilihan para petani. Alasan utama para petani memilih
pola saluran ini adalah adanya sistem pembayaran tunai oleh pedagang pengumpul.
Selain itu, telah terjalin hubungan yang baik antara petani dengan pedagang
pengumpul dalam waktu yang cukup lama. Kepercayaan (trust) antara petani dan
pedagang pengumpul menjadi salah satu modal sosial yang telah terbentuk dalam
tatanan masyarakat di pedesaan. Umumnya petani mengakui hubungan kemitraan yang
terjalin dengan pedagang pengumpul tidak hanya dalam aspek pemasaran saja namun
juga dalam aspek pengadaan sarana produksi. Beberapa pedagang pengumpul juga
memberikan pinjaman modal kepada petani. Transaksi jual beli bahkan biasanya
dilakukan petani dengan pedagang pengumpul sebelum proses pemanenan terjadi.
Petani telah memberikan jadwal panennya kepada pedagang pengumpul jauh-jauh
hari. Pada saat pemanenan, pedagang pengumpul telah siap di lokasi panen, lalu
mengangkut hasil panen petani untuk langsung ditimbang dan dibayar langsung di
tempat. Bagi petani, sistem ini dianggap sangat simple dan memudahkan, meskipun
harga jual yang diterima petani jauh lebih rendah dibandingkan apabila petani
memilih saluran pemasaran lain. Terdapat tiga buah Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di
Kecamatan Putri Hijau yang selama ini dapat menampung seluruh hasil produksi
kelapa sawit rakyat. Ketiga perusahaan kelapa sawit tersebut adalah PT.
Agricinal, PT. Mitra Puding Mas dan PT. Alno Agro Utama. Dalam penelitian ini,
seluruh petani yang terpilih menjadi responden menjual hasil produksinya ke PT
Agricinal. Hal ini disebabkan karena telah Petani kelapa sawit Kelompok Tani
Pedagang pengumpul Pabrik III. 22,22 % I. 55,56 % II. 22,22 % GAMBAR 2. SKEMA
SALURAN PEMASARAN TANDAN BUAH SEGAR KELAPA SAWIT DESA KOTA BANI KECAMATAN PUTRI
HIJAU 33 Vol.4 No.1 Januari-Juni 2018 terjalin hubungan yang baik antara
petani, pedagang pengumpul dan pihak perusahaan sebagai pelaku pemasaran akhir
dari komoditi TBS rakyat. Selain itu, harga yang ditawarkan perusahaan dinilai
lebih kompetitif oleh para petani dan pedagang pengumpul. Analisis Margin
Pemasaran TBS di Kecamatan Putri Hijau Analisis margin pemasaran dan share
harga merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengetahui efisiensi
pemasaran. Untuk mengetahui besarnya margin pemasaran dilakukan melalui
penghitungan biaya yang dikeluarkan dalam proses pemasarannya. Pada dasarnya
margin pemasaran terdiri atas biaya-biaya yang dikeluarkan oleh petani dan atau
lembaga pemasaran dalam melakukan aktifitas pendistribusian TBS kelapa sawit,
yang meliputi: biaya transportasi (pengangkutan), biaya penimbangan, bongkar
muat, biaya penyusutan dan pajak daerah. Biaya Pemasaran TBS Pada Tingkat
Pedagang Pengumpul dan Kelompok Tani di Kecamatan Putri Hijau Biaya pemasaran di
tingkat lembaga pemasaran merupakan semua biaya yang dikeluarkan oleh setiap
lembaga pemasaran dalam pendistribusian TBS dari petani sampai ke PKS. Lembaga
pemasaran yang terlibat di setiap saluran pemasaran adalah pedagang pengumpul
(saluran I) dan kelompok tani (saluran II). TABEL 1. BIAYA PEMASARAN TBS PADA
TINGKAT LEMBAGA PEMASARAN DI KECAMATAN PUTRI HIJAU, KABUPATEN BENGKULU UTARA
TAHUN 2016 No Jenis Biaya Desa Karang Tengah Desa Kota Bani Saluran I (Rp/kg)
Saluran II (Rp/Kg) Saluran I (Rp/kg) Saluran II (Rp/Kg) 1 Penyusutan alat 0,74
0,55 0,92 0,35 2 Tenaga kerja* 20 - 55 - 3 Transportasi 110 - 21,38 - 4
Penyusutan TBS 6,14 3,66 4,75 3,13 5 PAD - - 13,03 - Jumlah 136,88 4,21 95,08
3,48 *Biaya tenaga kerja terdiri dari biaya penimbangan dan bongkar muat
Terdapat perbedaan biaya pemasaran yang timbul pada kedua saluran pemasaran
yang diteliti (Tabel 1). Biaya pemasaran pada saluran II lebih rendah
dibandingkan biaya pada saluran I. Rendahnya biaya pemasaran yang harus
ditanggung lembaga pemasaran saluran II (petani - kelompok tani – pabrik)
disebabkan oleh biaya tenaga kerja, transportasi dan PAD sepenuhnya ditanggung
oleh petani. PAD merupakan pajak pendapatan asli daerah, dimana setiap petani
di Kecamatan Putri Hijau yang memiliki pendapatan melalui perkebunan di
wajibkan membayar 1% dari hasil produksinya kepada pemerintah desa. Biaya
tenaga kerja, transportasi, dan PAD ditanggung secara kolektif oleh petani yang
tergabung dalam kelompok, sehingga kelompok tani hanya menanggung biaya
penyusutan alat dan TBS. Berbeda dengan saluran pemasaran I (petani – pedagang
pengumpul – pabrik), semua biaya pemasaran menjadi beban pedagang pengumpul,
sehingga petani tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk pemasaran TBS mereka.
TABEL 2. MARGIN PEMASARAN TBS SETIAP SALURAN PEMASARAN DI KECAMATAN PUTRI
HIJAU, KABUPATEN BENGKULU UTARA TAHUN 2016 Uraian Desa Karang Tengah (Rp/kg)
Desa Kota Bani (Rp/Kg) Saluran I Saluran II Saluran I Saluran II PETANI Harga
jual 1.097,00 1.320,00 1.097,00 1.320,00 PEDAGANG PENGUMPUL Harga beli 1.097,00
1.097,00 Harga jual 1.303,00 1.303,00 Margin pemasaran 206,00 206,00 Biaya
pemasaran 136,88 95,08 Keuntungan 69,12 110,92 KELOMPOK TANI Harga beli
1.320,00 1.320,00 Harga jual 1.325,00 1.325,00 Margin pemasaran 5,00 5,00 Biaya
pemasaran 4,21 3,48 Keuntungan 0,79 1,52 Berdasarkan analisis margin pemasaran
(Tabel 2), margin pemasaran terbesar berada pada saluran I (petani – pedagang
pengumpul – pabrik). Besaran margin pemasaran di kedua desa adalah Rp 206,00/kg
atau sebesar 15,81% dari harga jual pedagang pengumpul desa. Besarnya margin
pemasaran pada saluran I dikarenakan pedagang pengumpul membeli TBS dari petani
dengan harga yang lebih rendah dengan pabrik dan besarnya keuntungan yang ingin
diperoleh oleh pedagang pengumpul. Margin pemasaran terkecil berada pada
saluran II (petani – kelompok tani – pabrik) yaitu Rp 5/kg atau sebesar 0,3 %
dari harga jual. Kelompok tani tidak mengambil margin yang besar dalam proses
pemasan TBS dari petani. Kelompok tani merupakan lembaga yang dalam usahanya bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya, tidak untuk mencari keuntungan
seperti 34 AGRARIS: Journal of Agribusiness and Rural Development Research
pedagang pengumpul. Setiap petani yang tergabung dalam kelompok tani memiliki
kewajiban untuk membayar iuran wajib anggota setiap bulannya. Margin pemasaran
yang diperoleh kelompok tani selanjutnya dikelola bersama iuran wajib dari
setiap anggota kelompok tani untuk membiayaan aktivitas kelompok tani seperti
dalam pengadaan peralatan bongkar, pengadaan sarana transportasi (angkut),
pengadaan fasilitas kantor, hingga perbaikan dan pembangunan infrastruktur
jalan. BAGIAN DITERIMA PETANI Nilai farmer’s share yang besar berarti porsi
atau bagian yang dinikmati petani besar dan saluran tataniaga tersebut efisien.
Nilai farmer’s share yang kecil berarti porsi atau bagian yang dinikmati oleh
petani kecil dan saluran tataniaga tersebut tidak efisien. Farmer’s share
dengan persentase terbesar berada pada saluran tataniaga II (petani – kelompok
tani – pabrik) yakni sebesar 99,62% (Tabel 3). Di Desa Karang Tengah terdapat
39,13% petani yang mampu menjual hasil panennya ke kelompok tani, sedangkan di
Desa Kota Bani hanya terdapat 22,22% petani yang menggunakan saluran pemasaran
ini. TABEL 3. ANALISIS FARMER’S SHARE SALURAN PEMASARAN TBS DI KECAMATAN PUTRI
HIJAU, KABUPATEN BENGKULU UTARA TAHUN 2016 Uraian Desa KarangTengah Desa Kota
Bani Saluran I Saluran II Saluran I Saluran II Harga jual petani (Rp/Kg)
1.097,00 1.320,00 1.097,00 1.320,00 Harga beli konsumen (Rp/Kg) 1.303,00
1.325,00 1.303,00 1.325,00 Bagian petani (%) 84,19 99,62 84,19 99,62 Peranan
kelompok tani atau koperasi sangat besar membantu petani. Peranan tersebut
tidak hanya pada proses pengadaan input pertanian tetapi juga membantu petani
dalam memasarkan hasil panennya. Besaran nilai bagian petani yang diperoleh
melalui saluran pemasaran kelompok tani atau koperasi tani memberikan sumbangan
nilai terbesar dibanding saluran pemasaran lain nya (Octaviani, M. W.,
Yaktiworo, I., & Suriaty, S., 2014). Besaran nilai bagian petani bisa
mencapai 86,42%, seperti yang dialami petani kelapa sawit non–sertifikasi di
Kelurahan Sorek Satu, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan, Riau.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa nilai bagian petani dari saluran pemasaran
I dengan melibatkan pedagang pengumpul mencapai angka yang juga cukup besar
yakni 84,19%. Nilai ini memang sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan
saluran II, namun persentase tersebut tergolong masih menguntungkan bagi
petani. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian serupa yang telah
dilakukan oleh (Tety E., Maharani E., & Deswita, S., 2013); (Nugroho,
2015); (Sumiati, Rusida & Idawati, 2017), di mana nilai farmer share yang
didapat petani kelapa sawit di sebesar 85,05% (Kasus pada Desa Sari Galuh
Kecamatan Tapun Kabupaten Kampar), sebesar 76,15% (Kasus saluran pemasaran dua
tingkat di Kabupaten Kutai Kartanegara ), dan sebesar 72% (Kasus pada Desa
Baku-Baku Kecamatan Malangke Barat Kabupaten Luwu Utara). Harus diakui bahwa
keberadaan pedagang pengumpul tidak dapat dipisahkan dari kehidupan petani
dalam sistem pemasaran kelapa sawit, terutama dalam perkebunan kelapa sawit
yang bersifat swadaya. Kerjasama antara petani dan pedagang pengumpul umumnya
telah terjalin sejak lama dan sulit bagi petani untuk melepaskan diri dari
keberadaan mereka. Selain dalam hal pemasaran hasil panen, pedagang pengumpul
juga berperan besar dalam membantu petani, terutama dalam hal pengadaan sarana
produksi seperti pupuk dan bibit. RASIO KEUNTUNGAN TERHADAP BIAYA Nilai rasio
keuntungan yang lebih besar dari 1 menunjukkan bahwa aktivitas pemasaran yang
terjadi memberikan keuntungan bagi pelaku pemasaran. Berdasarkan Tabel 4, hanya
saluran I (petani – pedagang pengumpul – pabrik) di Desa Kota Bani yang memiliki
nilai R/C ratio dengan nilai lebih dari satu. Ini berarti bahwa seluruh
aktivitas pemasaran pada saluran pemasaran I di Desa Kota Bani memberikan
keuntungan dan efisien. TABEL 4. ANALISIS RASIO KEUNTUNGAN TERHADAP BIAYA
SALURAN PEMASARAN TBS DI KECAMATAN PUTRI HIJAU, KABUPATEN BENGKULU UTARA TAHUN
2016 Uraian Desa Karang Tengah Desa Kota Bani Saluran I Saluran II Saluran I
Saluran II Keuntungan pemasaran (Rp/kg) 69,12 0,79 110,92 1,52 Biaya pemasaran
(Rp/kg) 136,88 4,21 95,08 3,48 Rasio keuntungan 0,51 0,19 1,17 0,44 Penelitian
lain (Harahap, 2017); (Sumiati, Rusida, & Idawati, 2017); (Tety, Maharani,
& Deswita, 2013) juga menyebutkan bahwa saluran pemasaran petani–pedagang
pengumpul–pabrik merupakan saluran pemasaran yang lebih efisien dibandingkan
saluran lain yang melibatkan lebih banyak lembaga pemasaran. Semakin pendek
saluran tataniga 35 Vol.4 No.1 Januari-Juni 2018 suatu barang hasil pertanian
maka, biaya tataniaga semakin rendah, margin tataniaga juga semakin rendah,
harga yang harus dibayarkan konsumen semakin rendah, harga yang diterima
produsen semakin tinggi. Petani umumnya memilih menjual langsung ke pedagang
besar untuk menghindari penyusutan TBS sehingga dapat mengurangi kualitas crude
palm oil (CPO) yang dihasilkan (Harahap, Simanullang, & Romadon, 2017).
Berbeda dengan Desa Kota Bani, saluran pemasaran I di Desa Karang Tengah
dinilai tidak efisien karena memiliki nilai rasio keuntungan atas biaya yang
kurang dari satu. Ketidakefisienan tersebut disebabkan oleh tingginya biaya
pemasaran yang harus dikeluarkan oleh pelaku pemasaran. Berdasarkan Tabel 1,
besarnya biaya pemasaran pada saluran I di Desa Karang Tengah disebabkan
besarnya porsi biaya transportasi yang harus dikeluarkan oleh lembaga
pemasaran. Biaya transortasi yang besar timbul karena jarak antara Desa Karang
Tengah dengan pabrik cukup jauh. Selain itu, kondisi fisik jalan yang tidak
baik mengakibatkan tingginya biaya transportasi yang harus ditanggung oleh
lembaga pemasaran. Saluran pemasaran II (petani – kelompok tani – pabrik) dalam
penelitian ini juga dinilai tidak efisien karena memiliki nilai rasio
keuntungan atas biaya yang kurang dari satu. Rendahnya tingkat keuntungan yang
diterima kelompok tani menjadi penyebab saluran pemasaran ini tidak efisien.
KESIMPULAN Saluran pemasaran TBS di Kecamatan Putri Hijau Kabupaten Bengkulu
Utara memiliki dua pola saluran yaitu: (1) Saluran I, yaitu petani – pedagang
pengumpul – pabrik kelapa sawit, dan (2) Saluran II, yaitu petani – kelompok
tani – pabrik kelapa sawit. Berdasarkan margin tataniaga dan rasio keuntungan
terhadap biaya menunjukkan bahwa hanya saluran pemasaran I di Desa Kota Bani
yang efisien. Saluran pemasaran I di Desa Kota Bani memiliki nilai margin
pemasarannya sebesar Rp206/kg dengan nilai rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran
sebesar 1,17. DAFTAR PUSTAKA Afifuddin, S., & Kusuma, SI. (2007). Analisis
Struktur Pasar CPO: Pengaruhnya terhadap pengembangan ekonomi wilayah Sumater
Utara. Jurnal Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, 2(3): 124 – 136. Aprizal,
Asriani, P. S., & Sriyoto. (2013). Analisis Daya Saing Usahatani Kelapa
Sawit Di Kabupaten Mukomuko (Studi Kasus Desa Bumi Mulya). Jurnal Agrisep,
12(2): 133 – 146. Azzaino, Z. (1983). Pengantar Tata Niaga Pertanian.
Departemen Pertanian Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian, IPB. Bogor.
Badan Pusat Statistik.(2013). Statistik Perkebunan Provinsi Bengkulu. Dinas
Perkebunan Provinsi Bengkulu. Badan Pusat Statistik. (2013). Statistik
Perkebunan Kabupaten Bengkulu Utara. Dinas Perkebunan Kabupaten Bengkulu Utara.
Badan Penyuluh Pertanian Putri hijau. (2015). Data Petani Kelapa Sawit
Kecamatan Putri Hijau. BPP, Kecamatan Putri Hijau: Author Daniel, M. (2005).
Metode Penelitian Sosial Ekonomi. Bumi Aksara. Jakarta. 166 hal. Ditjenbun.
(2018). Statistik Kelapa Sawit 2015-2017. Retrived from: http:/
/ditjenbun.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/statistik/2017/
kelapa-2015-2017.pdf Harahap, G., Simanullang, E. S., & Romadon, M. (2017).
Analisis Efisiensi Tataniaga Tandan Buah Segar (Tbs) Kelapa Sawit (Study Kasus:
Petani Perkebunan Inti Rakyat Desa Meranti Paham Kecamatan Panai Hulu,
Kabupaten Labuhan Batu). Journal Wahana Inovasi, 6(2): 170–180. Istiyanti, E.
(2010). Efisiensi Pemasaran Cabai Merah Keriting di Kecamatan Ngemplak
Kabupaten Sleman. Mapeta, 12(2): 116-124. Lubis, F. R. A., & Tinaprilla, N.
(2016). Sistem Tataniaga Tandan Buah Segar Di Kecamatan Wampu, Kabupaten
Langkat, Sumatera Utara. Agrica (Jurnal Agribisnis Sumatera Utara), 4(2):
126-139. Mursid, M. (1997). Manajemen Pemasaran. Edisi Pertama, Cetakan Kedua,
Bumi Aksara, Jakarta. Nazir, M. (2003). Metodologi Penelitian. Ghalia
Indonesia.Jakarta Nugroho, A. E., (2015). Analisis Pemasaran Tandan Buah Segar
Kelapa Sawit Di Kabupaten Kutai Kartanegara (Studi Kasus Pada Petani Swadaya
Kecamatan Muara Muntai). Magrobis Journal, 15(2): 47- 56. Octaviani, M. W.,
Yaktiworo, I., & Suriaty, S. (2014). Pengaruh Bauran Pemasaran (Marketing
Mix) Dan Perilaku Konsumen Terhadap Pengambilan Keputusan Pembelian Jus Buah
Segar Bandar Lampung. JURNAL ILMU- ILMU AGRIBISNIS: Journal of Agribusiness
Sciences, 2(2): 133–141. http://dx.doi.org/10.23960/jiia.v2i2.133-141 Sumiati,
S; Rusida, R., & Idawati, I. (2017). Analisis Saluran Pemasaran Kelapa
Sawit Di Desa Baku-Baku Kecamatan Malangke Barat Kabupaten Luwu Utara. Journal
TABARO, 1(1): 38-50. Sukiyono, K., Cahyadinata, I., Purwoko, A., Widiono, S.,
Sumartono, E., Asriani, N. N., & Mulyasari, G. (2017). Assessing
Smallholder Household Vulnerability to Price Volatility of Palm Fresh Fruit
Bunch in Bengkulu Province. International Journal of Applied Business and
Economic Research, 15(3): 1 – 15. Swastha, B. (1991). Konsep dan Strategi
Analisa Kuantitatif Saluran Pemasaran. Yogyakarta (ID). BPFE. Syahza, A.
(2011). Percepatan Ekonomi Pedesaan Melalui Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit.
Jurnal Ekonomi Pembangunan, 12(2): 297- 310. Tety
Downloads

Produk Spesial
KENAPA PERLU DAN PENTING?
Ini adalah pertanyaan kenapa yang secara konsep membutuhkan
keterangan dan penjelasan detail. Karena dokumen turunan lainya akan diambil
dari sana. Seperti izin usaha yang akan diefektifkan melalui pemerintah lokal
dan daerah. Setidaknya ketika sebuah perusahaan membangun jalannya disebuah
daerah. Dia bisa merasakan betapa ketika sebuah perijanan pada tingakat
nasional tidak perlu lagi kejakarta dan menyelesaiakan perjalan perijinan
tersebut dengan mengeluarkan biaya menginap atau lainnya.
Kurang lebih sudah samapia pada angka pertemuan yang ke
tiga. Secara formal pelatihan yang diselenggarakan oleh setara media. Mungkin
juga sudah membuka jalan bagi para alumni untuk berkarya dan membantu pengusaha
lokal dalam mengembangkan kemampuan mereka dan keahlian mereka tentu saja.
Sudah ada temuan baru tentang apa yang terjadi dan bagaiman solusi ketika satu
proses penerbitan nib terhenti karena faktor faktor yang tidak bisa di
selesaikan.
Beberapa perusahaan besar juga telah bekomunikasi dan
mengundan tim expresoo untuk membantu legal dan bagian administrasi perijinan
mereka memahami oss dan Nib. Bekerjasama dengan expresoo virtual office yang
berkantor di Intermark BSD. Setara media akan terus mengembangkan
program-program yang memberikan kesempatan baru kepada para pihak untuk
memahami dan meningkatkan kapasitas mereka. So guys, apalagi yang ditunggu ini
waktunya anda menghubungi alumni kami, atau bergabung dengan program kami untuk
oss dan nib.
Post Views: 16
NAVIGASI POS
LEAVE A COMMENT
Published
2018-08-27
Issue
0 komentar:
Posting Komentar