Dalam prosesnya, industry kelapa sawit menghasilkan beberapa residu
yang dianggap sebagai limbah yang memang berpotensi menjadi beban
pencemaran lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Namun, sebenarnya
jika diolah secara maksimal dengan menggunakan teknologi yang tepat,
limbah-limbah tersebut akan memberikan nilai lebih yang signifikan bagi
industry. Contoh konversi biomassa batang kelapa sawit yang masih bisa
diambil niranya bisa menghasilkan bioethanol yang bisa digunakan untuk
mengganti bahan bakar fosil. Padahal selama ini batang-batang ini hanya
digunakan sebagai mulsar, pupuk, dan pengisi jalan setapak di antara
perkebunan.
Sebenarnya banyak juga yang sudah menggunakan limbah kelapa sawit
sebagai bahan daur ulang untuk menjadi bahan bakar yang bisa
menghasilkan listrik.
Secara umum, limbah utama dari industri kelapa sawit terdiri dari 2
jenis yaitu limbah padat dan limbah cair. Sebenarnya proses ini juga
menghasilkan emisi GRK berupa CO2 dan polutan udara lainnya, namun
pengolahan lanjut dari limbah gas tidak dibahas dalam laporan ini.
Limbah cair industri kelapa sawit yang paling utama adalah POME atau
Palm Oil Mill Effluent, sedangkan limbah padatnya terdiri dari tandan
kosong, pelepah , batang dan serat mesocarp. Serat mesocarp dan tandan
kosong merupakan limbah yang diperoleh ketika proses produksi berlanjut,
sementara pelepah dihasilkan ketika dilakukan pemangkasan pelepah.
Limbah batang sawit dihasilkan ketika proses replantasi, penggantian
tanaman tua dengan tanaman yang lebih muda.
POME memiliki kandungan organik yang sangat tinggi, sehingga jika
dibuang langsung ke lingkungan akan menimbulkan masalah pencemaran yang
cukup berat serta emisi GRK. Namun jika emisi ini ditangkap dengan
menggunakan teknologi fermentasi anaerobic, biogas yang ada bisa
menggantikan fungsi LPG. Bahkan menurut perhitungan, 1 ton EFB/TBS bisa
menghasilkan emisi sebanyak 23.25 kg CH4 yang jika dikonversikan
sepenuhnya ke dalam LPG, maka akan ada sekitar 58 Rumah yang bisa
menggunakan biogas tersebut setiap bulan. Jika kapasitas rata-rata
Provinsi Riau yang ditunjukan pada Tabel 3 di atas sebanyak 6660 ton
tbs/jam maka akan ada sekitar 12,386,000 unit rumah yang bisa dipenuhi
kebutuhan LPG nya dengan menggunakan gas ini. Maka berdasarkan
potensinya yang sedemikian besar, teknologi yang tepat jelas menjadi
suatu kebutuhan yang tidak dapat dielakkan.
Sebagian besar limbah cair kelapa sawit (POME) ini diolah dalam
bentuk kolam pond. Namun setelah teknologi biogas sudah mulai
diaplikasikan untuk POME, opsi pond ini mulai ditinggalkan karena dirasa
tidak memiliki kinerja sebaik teknologi fermentasi anaerobic untuk
menghasilkan biogas. selain karena masalah lahan, masalah kemampuan
penurunan kandungan organic dan utilisasi methane juga menjadi
pertimbangan. Biogas ini kini dirasa menjadi salah satu solusi yang bisa
mengurangi beban penggunaan bahan bakar fosil dan juga mengurangi beban
pencemaran lingkungan.
Limbah padat dan cair dari industry kelapa sawit memiliki potensi
yang sangat baik untuk dikembangkan. Beberapa aplikasi teknologi
sederhana sudah ada yang berhasil cukup baik, namun sebenarnya jika
dilakukan upgrade teknologi, limbah-limbah tersebut bisa menghasilkan
produk yang bernilai lebih tinggi lagi. Sebagai contoh, di beberapa
industry, limbah POME yang ditreatment lebih dulu digunakan sebagai
pupuk untuk perkebunan. POME ini jika dikonversi menjadi biogas maka
nilai tambahnya akan lebih tinggi (seperti uraian sebelumnya). Contoh
lainnya adalah tandan kosong yang selama ini hanya digunakan sebagai
mulsa (material penutup tanaman budidaya yang dimaksudkan untuk menjaga
kelembaban tanah serta menekan pertumbuhan gulma dan penyakit sehingga
membuat tanaman tersebut tumbuh dengan baik) dan juga pupuk akan
meningkat nilainya jika diproses menjadi komposit, fiber untuk bahan
bangunan, dan lain sebagainya.
Indonesia sebagai salah satu produsen sawit terbesar di dunia sudah
selayaknya mengupayakan teknologi-teknologi yang bisa meningkatkan nilai
tambah dari limbah-limbah ini, apalagi jika mempertimbangkan dampak
positifnya untuk daya dukung lingkungan dan menurunkan beban pencemaran,
pembangunan berkelanjutan, tetapi juga potensi untuk menghasilkan
sumber energi terbarukan baik panas, listrik, maupun bahan bakar. Namun
saat ini prestasi Indonesia bahkan masih dikatakan kalah jika
dibandingkan dengan Malaysia yang lebih memiliki komitmen dalam kemajuan
teknologi konversi limbah menjadi energi dan material bernilai tambah
tinggi.
Selama ini banyak keterbatasan yang dihadapi Indonesia dalam mengolah
limbah kelapa sawit, di antaranya adalah masih kurangnya pengetahuan
dan dana investasi serta yang paling utama adalah komitmen dari pemegang
sektor terkait untuk bisa menguasai dan mengimplementasi teknologi
kemurgi ini. Hal ini mengakibatkan penggunaan limbah potensial ini baru
sebatas pupuk, mulsa, dan bahan bakar untuk CHP atau kogenerasi.
Teknologi biogas sendiri juga dapat dikatakan masih baru, dan butuh
penelitian dan pengembangan yang cukup besar yang perlu didukung oleh
stakeholder terkait (pemerintah, swasta, akademik, dll).
Senin, 19 Januari 2015
tandan


0 komentar:
Posting Komentar