KGI-PALM KAMI MENGERTI NILAI HIDUP , PENYEDIA PALM OIL GO GREEN

Senin, 19 Januari 2015

Komponen upah

Ada banyak persoalan penting dalam urusan ketenagakerjaan di Indonesia yang bermuara pada kebijakan Negara yang timpang. Dua dari persoalan penting itu adalah, pertama informalisasi ketenagakerjaan yang kian meningkat dengan semakin efektifnya sistem pasar tenagakerja fleksibel, kedua buruh di sektor informal. Keduanya saling terkait, dan berdampak sama: kemiskinan bagi buruh.
Fleksibilisasi pasar tenagakerja yang menyebabkan terjadinya gelombang informalisasi, merupakan strategi yang terus dikembangkan oleh pemilik modal dalam rangka maksimalisasi keuntungan. Karena dengan hubungan kerja yang fleksibel, pemilik modal bisa mengelak dari berbagai tanggung jawab pemenuhan hak buruh yang mempengaruhi komposisi biaya ketenagakerjaan. Ada banyak bentuk dari hubungan kerja non formal yang dikembangkan pemilik modal dan salah satunya adalah buruh harian lepas yang disingkat BHL.
Apapun bentuk dari hubungan kerja non formal itu, tujuannya adalah menemukan sistem yang mampu meningkatkan keuntungan perusahaan dengan menekan upah buruh sekaligus menaikkan beban kerjanya. Prinsip mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya sekecil mungkin merupakan prinsip ekonomi kapitalis, dimana buruh hanya dipandang sebagai komoditas, merupakan bagian dari mesin produksi yang produktifitasnya dihitung melalui sejumlah target hasil dan jam kerja.
Industri Kelapa Sawit: Ladang Buruh Harian Lepas (BHL)
Industri kelapa sawit selain sebagai salah satu sektor primadona yang telah menghasilkan miliaran dolar, dan menjadi salah satu ekspor andalan Indonesia, juga merupakan ladang yang subur bagi pemilik modal untuk menanam sistem kerja buruh harian lepas, hal ini selain berdasarkan observasi lapangan, juga pada data-data yang menunjukan bahwa sektor perkebunan merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja lepas[1]. Dimana buruh harian lepas di berbagai perkebunan kelapa sawit (misal: di Sumatera Utara), sama sekali tidak mendapatkan perlindungan sosial[2]. Walaupun pemerintah sudah mengeluarkan Permenaker No. Per-03/Men/1994 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Tenaga Kerja Borongan, dan Tenaga Kerja Kontrak. Dalam peraturan itu pengusaha wajib mengikutsertakan semua kategori tenaga kerja yang disebutkan dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), namun dalam kenyataannya, jamsostek hanyalah mimpi di siang bolong bagi BHL di perkebunan kelapa sawit. Padahal BHL seringkali menjadi korban kecelakaan kerja[3]. Jika untuk kecelakaan kerja saja mereka tidak mendapatkan jaminan, apalagi untuk jaminan hari tua, jaminan kematian, dan jaminan kesehatan. Kondisi ini sungguh memprihatinkan, mengingat BHL sebagai bagian dari hubungan kerja tanpa ikatan mempunyai resiko ekonomi lebih besar dibanding buruh sektor formal.
Selain tidak adanya jaminan sosial, BHL di perkebunan kelapa sawit juga mendapatkan upah yang sangat rendah. Kondisi ini sebenarnya merupakan gambaran umum kondisi buruh perkebunan di Indonesia: mendapatkan upah rendah. Dan dalam kenyataannya, upah buruh sektor industri selalu lebih besar dari upah buruh perkebunan.
BHL di perkebunan kelapa sawit secara umum bekerja di lapangan sebagai tukang panen (memetik buah sawit), dan perawatan (meliputi: pemupukan, penyemprotan hama, pembersihan lahan, dlsbnya), jumlahnya tergantung dari luas lahan perkebunan, namun pada umumnya jumlah BHL lepas adalah setengah dari jumlah total buruh.
Jumlah penggunaan BHL oleh perusahaan perkebunan berlandaskan pada tingkat yang dapat terus menjaga keuntungan pengusaha, dan setiap BHL bekerja menggunakan sistem borongan, artinya upah yang ia terima berdasarkan berapa banyak target yang bisa ia capai, bahkan jika tidak mencapai target ia akan menerima potongan upah. Hal ini jelas akan memicu BHL untuk meningkatkan produktivitasnya, terutama pada pekerjaan bagian panen, ia akan berusaha untuk bisa memanen sebanyak-banyaknya sesuai ketentuan perusahaan, sehingga meningkatkan keuntungan perusahaan. Syarat-syarat untuk melakukan pemetikan buah sawit, alat kerja, dan ketentuan upah, yang ditentukan sepihak oleh pemilik perkebunan adalah demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan cara mengurangi biaya upah dan menghilangkan jaminan sosial buruh.
Secara ringkas itulah salah satu bentuk penindasan di perkebunan yang dialami BHL, tidak adanya jaminan sosial dan upah murah. Namun hal ini bukan berarti buruh tetap atau biasa disebut dengan istilah buruh SKU (Syarat Kerja Umum) juga tidak mengalami perlakuan tidak adil, cuma memang BHL kondisinya lebih memprihatinkan. BHL dipaksa bekerja dengan sistem yang mendorong keuntungan pengusaha menjadi lebih besar, sementara itu, resiko kerja yang ada dibebankan sepenuhnya kepada BHL.
Perhitungan upah BHL yang menggunakan sistem borongan, jelas didasarkan pada orientasi pengusaha untuk mengejar jumlah produksi dan keuntungan. Kondisi ini akan terus berlangsung, ketika lapangan kerja di wilayah tersebut hanya bergantung pada keberadaan perusahaan perkebunan swasta dan kondisi geografis wilayah perkebunan kelapa sawit yang terisolir. Sebagian buruh tidak memiliki alternatif pekerjaan lain selain menjadi BHL dengan upah murah dan resiko kerja apapun. Sebaliknya bagi pihak pengusaha kondisi geografis ini jelas menguntungkan karena pasokan tenaga kerja buruh murah akan tetap tersedia melimpah dari generasi ke generasi, sehingga pihak pengusaha terus berada pada posisi yang semakin kuat untuk menentukan kesepakatan kerja dengan para buruhnya.
Namun ketika pemerintah tidak mampu menciptakan pekerjaan melalui sektor Negara, maka seharusnya pemerintah melindungi warga Negaranya yang menjadi buruh di sektor swasta, agar mendapatkan jaminan sosial dan upah yang layak. BHL di perkebunan menjalankan kondisi dan situasi kerja yang hampir sama dengan buruh tetap, dan bekerja setiap hari selama bertahun-tahun, sehingga sudah sepatutnya menjadi kewajiban bagi perusahaan perkebunan untuk mengangkat BHL menjadi buruh tetap dan diikutsertakan dalam program jamsostek. Dan merupakan tanggungjawab pemerintah untuk memastikan perusahaan perkebunan swasta menjalankan kewajibannya tersebut.
Hubungan buruh dan majikan dalam proses produksi adalah hubungan yang mengesankan relasi saling membutuhkan. Namun hubungan majikan dan buruh sejatinya adalah hubungan konflik, karena secara hakiki memiliki kepentingan yang bertentangan. Kepentingan majikan adalah memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, sedangkan kepentingan buruh adalah upah layak yang mampu mendorongnya ke arah kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, jelaslah bahwa hubungan yang ada antara pengusaha dengan buruh bukan hanya hubungan yang saling membutuhkan, tetapi juga hubungan yang saling berbeda kepentingan (Suziani, 1999).
Jelas jika BHL perkebunan kelapa sawit dihadapkan sendirian dengan pemilik modal dalam hubungan pertentangan ini, maka pemilik modal berada pada posisi yang jauh lebih kuat. Karenanya pemilik modallah yang bisa menentukan segala cara produksi, model hubungan kerja, jumlah upah, dlsbnya. Demi keuntungan yang sebesar-besarnya.
Maka satu entitas yang tersisa adalah Negara, namun pertanyaannya berada dimana Negara pada realitas ini?
Bogor, 02 Oktober 2008

Selasa, 29 Maret 2011

STRUKTUR BIAYA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

TANAMAN MENGHASILKAN

A.  Struktur Biaya Perkebunan

Struktur Biaya pada perkebunan Kelapa Sawit  adalah demikian pentingnya, sebab hanya struktur biaya yang dikelola dan dikontrol dengan tepat , usaha perkebunan akan memperoleh hasil keuntungan yang lebih baik.

Sistim akuntansi yang digunakan di perkebunan kelapa sawit, umumnya menguraikan Biaya Produksi kedalam beberapa Kategori Biaya, yang mana setiap kategori biaya dibagi dalam beberapa Group Biaya.  Adapun Group biaya itu sendiri terdiri atas beberapa Komponen Biaya yang merupakan sejumlah Elemen Biaya sebagai dasar perhitungan pengeluaran biaya real. Secara skematis uraian Biaya Produksi perkebunan kelapa sawit tersebut  dapat dilihat pada halaman berikut ini.

Terdapat tiga kelompok Kategori Biaya, yaitu Ex-Factory Cost, Cash Cost dan Book Cost.   Gross Profit Before Tax dihitung dari Net sales dikurangi Book Cost.
Penguraian Biaya Produksi menjadi Komponen Biaya ditujukan untuk meng identifikasi berbagai biaya agar dapat dijadikan pedoman bagi perencanaan Budget dan Akuntansi  serta membuat terbentuknya sistim kontrol yang efektif pada management biaya.

1.   Elemen Biaya Produksi

    Semua komponen biaya produksi selalu meliputi tiga prinsip elemen biaya, yakni Upah Tenaga Kerja biasa dilakukan melalui mekanisme PK (PK – Perintah Kerja), Biaya Material dilakukan melalui mekanisme PO (PO – Purchase Order) dan Proporsi atas pembebanan Biaya Angkutannya.  
     Setiap biaya per komponen akan bervariasi tergantung kepada besarnya biaya rata-rata upah buruh, jumlah material yang digunakan sesuai harga yang berlaku saat itu dan besarnya biaya  angkutan. Ketiga elemen tersebut benar-benar menjadi dasar terjadinya variasi dalam biaya produksi.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger