Ada banyak persoalan penting
dalam urusan ketenagakerjaan di Indonesia yang bermuara pada kebijakan Negara
yang timpang. Dua dari persoalan penting itu adalah, pertama informalisasi ketenagakerjaan
yang kian meningkat dengan semakin efektifnya sistem pasar tenagakerja
fleksibel, kedua buruh di sektor informal. Keduanya saling terkait, dan
berdampak sama: kemiskinan bagi buruh.
Fleksibilisasi pasar tenagakerja
yang menyebabkan terjadinya gelombang informalisasi, merupakan strategi yang
terus dikembangkan oleh pemilik modal dalam rangka maksimalisasi keuntungan.
Karena dengan hubungan kerja yang fleksibel, pemilik modal bisa mengelak dari
berbagai tanggung jawab pemenuhan hak buruh yang mempengaruhi komposisi biaya
ketenagakerjaan. Ada banyak bentuk dari hubungan kerja non formal yang
dikembangkan pemilik modal dan salah satunya adalah buruh harian lepas yang
disingkat BHL.
Apapun bentuk dari hubungan kerja
non formal itu, tujuannya adalah menemukan sistem yang mampu meningkatkan
keuntungan perusahaan dengan menekan upah buruh sekaligus menaikkan beban
kerjanya. Prinsip mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya sekecil
mungkin merupakan prinsip ekonomi kapitalis, dimana buruh hanya dipandang
sebagai komoditas, merupakan bagian dari mesin produksi yang produktifitasnya
dihitung melalui sejumlah target hasil dan jam kerja.
Industri Kelapa Sawit: Ladang
Buruh Harian Lepas (BHL)
Industri kelapa sawit selain
sebagai salah satu sektor primadona yang telah menghasilkan miliaran dolar, dan
menjadi salah satu ekspor andalan Indonesia, juga merupakan ladang yang subur
bagi pemilik modal untuk menanam sistem kerja buruh harian lepas, hal ini
selain berdasarkan observasi lapangan, juga pada data-data yang menunjukan
bahwa sektor perkebunan merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga
kerja lepas[1].
Dimana buruh harian lepas di berbagai perkebunan kelapa sawit (misal: di
Sumatera Utara), sama sekali tidak mendapatkan perlindungan sosial[2].
Walaupun pemerintah sudah mengeluarkan Permenaker No. Per-03/Men/1994 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi Tenaga Kerja Harian
Lepas, Tenaga Kerja Borongan, dan Tenaga Kerja Kontrak. Dalam peraturan itu
pengusaha wajib mengikutsertakan semua kategori tenaga kerja yang disebutkan
dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), namun dalam
kenyataannya, jamsostek hanyalah mimpi di siang bolong bagi BHL di perkebunan
kelapa sawit. Padahal BHL seringkali menjadi korban kecelakaan kerja[3].
Jika untuk kecelakaan kerja saja mereka tidak mendapatkan jaminan, apalagi
untuk jaminan hari tua, jaminan kematian, dan jaminan kesehatan. Kondisi ini
sungguh memprihatinkan, mengingat BHL sebagai bagian dari hubungan kerja tanpa
ikatan mempunyai resiko ekonomi lebih besar dibanding buruh sektor formal.
Selain tidak adanya jaminan
sosial, BHL di perkebunan kelapa sawit juga mendapatkan upah yang sangat
rendah. Kondisi ini sebenarnya merupakan gambaran umum kondisi buruh perkebunan
di Indonesia: mendapatkan upah rendah. Dan dalam kenyataannya, upah buruh
sektor industri selalu lebih besar dari upah buruh perkebunan.
BHL di perkebunan kelapa sawit
secara umum bekerja di lapangan sebagai tukang panen (memetik buah sawit), dan
perawatan (meliputi: pemupukan, penyemprotan hama, pembersihan lahan, dlsbnya),
jumlahnya tergantung dari luas lahan perkebunan, namun pada umumnya jumlah BHL
lepas adalah setengah dari jumlah total buruh.
Jumlah penggunaan BHL oleh
perusahaan perkebunan berlandaskan pada tingkat yang dapat terus menjaga
keuntungan pengusaha, dan setiap BHL bekerja menggunakan sistem borongan,
artinya upah yang ia terima berdasarkan berapa banyak target yang bisa ia
capai, bahkan jika tidak mencapai target ia akan menerima potongan upah. Hal
ini jelas akan memicu BHL untuk meningkatkan produktivitasnya, terutama pada
pekerjaan bagian panen, ia akan berusaha untuk bisa memanen sebanyak-banyaknya
sesuai ketentuan perusahaan, sehingga meningkatkan keuntungan perusahaan.
Syarat-syarat untuk melakukan pemetikan buah sawit, alat kerja, dan ketentuan
upah, yang ditentukan sepihak oleh pemilik perkebunan adalah demi mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya dengan cara mengurangi biaya upah dan menghilangkan
jaminan sosial buruh.
Secara ringkas itulah salah satu
bentuk penindasan di perkebunan yang dialami BHL, tidak adanya jaminan sosial
dan upah murah. Namun hal ini bukan berarti buruh tetap atau biasa disebut
dengan istilah buruh SKU (Syarat Kerja Umum) juga tidak mengalami perlakuan
tidak adil, cuma memang BHL kondisinya lebih memprihatinkan. BHL dipaksa
bekerja dengan sistem yang mendorong keuntungan pengusaha menjadi lebih besar,
sementara itu, resiko kerja yang ada dibebankan sepenuhnya kepada BHL.
Perhitungan upah BHL yang
menggunakan sistem borongan, jelas didasarkan pada orientasi pengusaha untuk
mengejar jumlah produksi dan keuntungan. Kondisi ini akan terus berlangsung,
ketika lapangan kerja di wilayah tersebut hanya bergantung pada keberadaan
perusahaan perkebunan swasta dan kondisi geografis wilayah perkebunan kelapa
sawit yang terisolir. Sebagian buruh tidak memiliki alternatif pekerjaan lain
selain menjadi BHL dengan upah murah dan resiko kerja apapun. Sebaliknya bagi
pihak pengusaha kondisi geografis ini jelas menguntungkan karena pasokan tenaga
kerja buruh murah akan tetap tersedia melimpah dari generasi ke generasi,
sehingga pihak pengusaha terus berada pada posisi yang semakin kuat untuk
menentukan kesepakatan kerja dengan para buruhnya.
Namun ketika pemerintah tidak
mampu menciptakan pekerjaan melalui sektor Negara, maka seharusnya pemerintah
melindungi warga Negaranya yang menjadi buruh di sektor swasta, agar
mendapatkan jaminan sosial dan upah yang layak. BHL di perkebunan menjalankan
kondisi dan situasi kerja yang hampir sama dengan buruh tetap, dan bekerja
setiap hari selama bertahun-tahun, sehingga sudah sepatutnya menjadi kewajiban
bagi perusahaan perkebunan untuk mengangkat BHL menjadi buruh tetap dan
diikutsertakan dalam program jamsostek. Dan merupakan tanggungjawab pemerintah
untuk memastikan perusahaan perkebunan swasta menjalankan kewajibannya
tersebut.
Hubungan buruh dan majikan dalam
proses produksi adalah hubungan yang mengesankan relasi saling membutuhkan.
Namun hubungan majikan dan buruh sejatinya adalah hubungan konflik, karena
secara hakiki memiliki kepentingan yang bertentangan. Kepentingan majikan
adalah memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, sedangkan kepentingan buruh
adalah upah layak yang mampu mendorongnya ke arah kesejahteraan dan pertumbuhan
ekonomi. Dengan demikian, jelaslah bahwa hubungan yang ada antara pengusaha
dengan buruh bukan hanya hubungan yang saling membutuhkan, tetapi juga hubungan
yang saling berbeda kepentingan (Suziani, 1999).
Jelas jika BHL perkebunan kelapa
sawit dihadapkan sendirian dengan pemilik modal dalam hubungan pertentangan
ini, maka pemilik modal berada pada posisi yang jauh lebih kuat. Karenanya
pemilik modallah yang bisa menentukan segala cara produksi, model hubungan
kerja, jumlah upah, dlsbnya. Demi keuntungan yang sebesar-besarnya.
Maka satu entitas yang tersisa
adalah Negara, namun pertanyaannya berada dimana Negara pada realitas ini?
Bogor, 02 Oktober 2008
Selasa, 29 Maret 2011
STRUKTUR BIAYA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
TANAMAN MENGHASILKAN
A. Struktur Biaya Perkebunan
Struktur Biaya pada perkebunan Kelapa
Sawit adalah demikian pentingnya, sebab
hanya struktur biaya yang dikelola dan dikontrol dengan tepat , usaha
perkebunan akan memperoleh hasil keuntungan yang lebih baik.
Sistim akuntansi yang digunakan di
perkebunan kelapa sawit, umumnya menguraikan Biaya Produksi kedalam beberapa
Kategori Biaya, yang mana setiap kategori biaya dibagi dalam beberapa Group
Biaya. Adapun Group biaya itu sendiri
terdiri atas beberapa Komponen Biaya yang merupakan sejumlah Elemen Biaya
sebagai dasar perhitungan pengeluaran biaya real. Secara skematis uraian Biaya
Produksi perkebunan kelapa sawit tersebut
dapat dilihat pada halaman berikut ini.
Terdapat tiga kelompok Kategori Biaya,
yaitu Ex-Factory Cost, Cash Cost dan Book Cost. Gross Profit Before Tax dihitung
dari Net
sales dikurangi Book Cost.
Penguraian Biaya Produksi menjadi
Komponen Biaya ditujukan untuk meng identifikasi berbagai biaya agar dapat
dijadikan pedoman bagi perencanaan Budget dan Akuntansi serta membuat terbentuknya sistim kontrol
yang efektif pada management biaya.
1. Elemen Biaya Produksi
Semua komponen biaya produksi selalu meliputi tiga prinsip
elemen biaya, yakni Upah Tenaga Kerja biasa dilakukan melalui mekanisme PK (PK – Perintah Kerja), Biaya Material
dilakukan melalui mekanisme PO (PO –
Purchase Order) dan Proporsi atas pembebanan Biaya Angkutannya.
Setiap biaya per
komponen akan bervariasi tergantung kepada besarnya biaya rata-rata upah buruh,
jumlah material yang digunakan sesuai harga yang berlaku saat itu dan besarnya
biaya angkutan. Ketiga elemen tersebut
benar-benar menjadi dasar terjadinya variasi dalam biaya produksi.
0 komentar:
Posting Komentar