Sebagian besar
pelaku usaha industri di negara maju dan berkembang sedang dihadapkan
pada persoalan bagaimana cara menekan emisi pengeluaran karbon dioksida
dengan menerapkan konsep clean development mechanism atau mekanisme
pembangunan bersih. Masalah tersebut juga berlaku bagi pengusaha di
Sumatera Selatan, tetapi istimewanya karena mereka memiliki solusi.
Konsep
mekanisme pembangunan bersih (CDM) sudah mulai dilakukan perusahaan
perkebunan kelapa sawit di Sumsel. Implementasi CDM, antara lain, adalah
dengan mengolah limbah kelapa sawit menjadi energi listrik. Selain itu,
limbah sawit juga bisa diolah lagi menjadi pupuk kompos dan gas metan.
Meski
bukan tergolong penemuan baru di bidang lingkungan hidup, keberhasilan
PT Pinago Utama dalam mengolah limbah kelapa sawit menjadi energi
listrik, kompos, dan metan ini merupakan yang pertama kali diterapkan di
Sumsel.
Pertengahan Oktober lalu berlangsung sosialisasi
kegiatan ”Implementasi Proyek Mekanisme Pembangunan Bersih” di lokasi
pabrik sawit dan karet PT Pinago Utama, Desa Sugih Waras, Kecamatan
Babat Toman, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumsel. Turut hadir Bupati
Muba Pahri Azzahri dan segenap unsur pelaku usaha.
Pada
kesempatan itu pula manajemen pabrik mempersilakan para undangan melihat
langsung proses pembangunan jaringan dan instalasi pengolahan limbah
kelapa sawit, dari cangkang ataupun limbah cair, menjadi energi listrik,
kompos, dan gas metan.
Menurut Koordinator Komnas Mekanisme
Pembangunan Bersih Kementerian Lingkungan Hidup Gunardi, program CDM
atau mekanisme pembangunan bersih merupakan rancangan kegiatan penurunan
emisi yang didesain oleh United Nations Framework Convention on Climate
Change (UNFCCC). UNFCCC merupakan organisasi yang dibentuk
pasca-Protokol Kyoto tahun 2005.
Secara teknis, UNFCCC melalui
sebuah badan teknis bernama Lembaga Eksekutif yang berpusat di Jerman
siap mendanai pelaku usaha di berbagai belahan dunia yang terbukti bisa
menurunkan emisi karbon dengan penerapan teknologi pada sistem produksi
industri.
Gunardi menjelaskan bahwa PT Pinago Utama adalah
satu-satunya perusahaan perkebunan karet dan kelapa sawit di Sumsel yang
menerima dana hibah dari UNFCCC dan Lembaga Eksekutif untuk menjadi
pelaksana proyek CDM.
”Ketiga jenis teknologi yang berhasil
dikembangkan PT Pinago Utama meliputi pengolahan limbah sawit menjadi
gas metan, pemanfaatan limbah sawit menjadi kompos, dan pemanfaatan
limbah sawit menjadi energi listrik berkekuatan 6 megawatt,” kata
Gunardi.
Direktur Utama PT Pinago Utama Wilson Sutanto secara
spesifik menjelaskan, gas metan dihasilkan dari pengolahan limbah cair
dari pabrik kelapa sawit, sedangkan kompos dihasilkan dari pengolahan
janjang kosong atau cangkang kelapa sawit.
”Khusus untuk energi panas listrik dihasilkan dari pengolahan limbah padat atau cangkang kelapa sawit tersebut,” katanya.
Wilson
menjelaskan, untuk membangun instalasinya butuh waktu sekitar enam
sampai tujuh bulan. Setelah diterapkan, teknologi mengolah limbah padat
atau cangkang kelapa sawit ini ternyata bisa menghasilkan listrik
berkekuatan 6 MW.
Secara sederhana, untuk mengolah limbah sawit
menjadi energi listrik 6 MW tersebut dibutuhkan dandang atau tabung
raksasa berkapasitas 38 ton, dengan struktur tabung yang cukup kuat
untuk menerima panas hasil pembakaran pada suhu 380 derajat celsius.
Selain tabung raksasa, juga dibutuhkan sebuah turbin uap berkapasitas
6.000 kilowatt.
Kebutuhan internal
Dari
hasil energi listrik 6 MW tersebut, PT Pinago sangat leluasa mencukupi
kebutuhan listrik untuk penggunaan internal perusahaan, mulai dari
kawasan perkantoran, permukiman karyawan, lokasi produksi pabrik, hingga
juga fasilitas umum, seperti lampu penerangan jalan.
”Jadi,
manfaatnya sangat besar. Selain bisa membantu menekan pencemaran
lingkungan melalui pengurangan emisi gas karbon dioksida, perusahaan
juga bisa menghemat pengeluaran listrik karena tidak tergantung lagi
dari PT PLN,” katanya.
Berkaca dari keberhasilan PT Pinago Utama
tersebut, Gunardi mengharapkan ada partisipasi dari pelaku sektor
industri lainnya di Indonesia untuk terlibat dalam proyek CDM atau
mekanisme pembangunan bersih tersebut.
Saat ini Gunardi
menjelaskan, partisipasi pelaku industri di Indonesia dalam proyek CDM
atau mekanisme pembangunan bersih masih minim. Dari total 73 usulan
proyek CDM yang diterima Kementerian Negara Lingkungan Hidup, sampai
sekarang hanya 19 proyek yang disetujui pihak Lembaga Eksekutif proyek
CDM.
”Dari total proyek CDM yang sedang berlangsung di berbagai
belahan dunia saat ini, partisipasi Indonesia hanya 1,17 persen. Proyek
CDM ini didominasi oleh China, Jepang, dan Argentina,” kata Gunardi.
Sosialisasi minim
Menurut
Gunardi, minimnya partisipasi Indonesia dalam proyek CDM disebabkan
oleh kurangnya sosialisasi ke pelaku industri tentang pemahaman konsep
dan program proyek CDM. Selain itu, faktor penguasaan teknologi berbasis
lingkungan juga belum banyak dipahami oleh pelaku industri.
Khusus
di Indonesia, keterlibatan dalam proyek CDM ini sebenarnya tidak hanya
bagi pelaku usaha di sektor perkebunan, tetapi juga sangat terbuka bagi
pelaku usaha pertambangan, energi, dan sumber daya alam lainnya.
”Perlu
diketahui bahwa Lembaga Eksekutif UNFCCC menyediakan dana hibah yang
sangat besar, 200.000 sampai 2 juta dollar AS bagi setiap proposal
kegiatan yang disetujui,” katanya.
Jika dikaji manfaatnya secara
lebih mendalam, dana hibah sebesar itu sebenarnya tidak hanya bermanfaat
bagi pelaksana proyek, tetapi juga bisa untuk menggerakkan sektor riil,
industri, dan perekonomian masyarakat. Alasannya, implementasi dari
sebuah proyek CDM akan berdampak positif, mulai dari penyerapan tenaga
kerja, peningkatan kualitas lingkungan, hingga pemahaman teknologi tepat
guna di bidang lingkungan hidup. (ONI)Kompas -
Senin, 19 Januari 2015
minim


0 komentar:
Posting Komentar