Jakarta, 2 Juli 2013. Hari ini Greenpeace bersama dengan Yayasan
Perspektif Baru, dan Yayasan Kehati, didukung oleh DNPI, mengadakan
Semiloka Nasional bertajuk “Solusi dan Alternatif Perkebunan Kelapa
Sawit Berkelanjutan di Indonesia”. Semiloka ini bertujuan untuk
mempertemukan para pemangku kepentingan di sektor kelapa sawit dari
kalangan pemerintahan, swasta dan asosiasi perkebunan kelapa sawit,
lembaga penelitian, petani sawit skala kecil (smallholders), dan LSM,
untuk menciptakan dinamika yang kuat dalam menyelaraskan perlindungan
hutan dan pertumbuhan ekonomi hijau-ekonomi rendah karbon di sektor
minyak sawit Indonesia.
Indonesia berpotensi menjadi salah satu penghasil emisi
gas rumah kaca terbesar di dunia yang disebabkan terutama dari
deforestasi, terutama karena buruknya tata kelola penggunaan lahan.
Emisi dari sektor kehutanan menyumbang sekitar 83% dari total emisi
nasional (DNPI, 2010). Salah satu yang ditengarai sebagai pendorong
deforestasi terbesar adalah sektor kelapa sawit.
Agus Purnomo, Kepala Sekretariat DNPI dalam acara ini
menyatakan, Agar dapat menerapkan pengelolaan kebun kelapa sawit yang
berkelanjutan, dibutuhkan dukungan dari semua pihak yang terkait, baik
dari dalam maupun luar negeri.
Indonesia telah menetapkan target untuk meningkatkan
produksi kelapa sawit dari 25 juta ton pada 2012 menjadi 40 juta ton
pada tahun 2020. Pencapaian target nasional minyak kelapa sawit bisa
dilakukan Indonesia dengan mendorong peningkatan produktivitas
perkebunan sawit, menerapkan praktik pengelolaan perkebunan yang ramah
lingkungan, dan menghindari ekspansi yang berakibat deforestasi.
Sebagai contohnya adalah praktik pengelolaan perkebunan
yang dilakukan oleh petani sawit mandiri yang memilih untuk meningkatkan
produktifitas kebun yang telah ada tanpa harus merusak hutan. KEHATI
melalui TFCA Sumatera bekerjasama dengan mitra Jikalahari mendorong
lebih dari seribu petani sawit yang memiliki 3.500 hektar luas
perkebunan sawit mengikrarkan komitmen pengelolaan kebun secara
bertanggungjawab dan berkelanjutan serta melindungi sekitar 740 hektar
hutan yang tersisa di wilayah desa mereka.
Kelompok petani mandiri di tujuh koperasi yang ada di
Kecamatan Pusako, Kabupaten Siak ini adalah contoh kemandirian petani
yang bisa mendapat dukungan dari berbagai pihak dan membuktikan bahwa
peningkatan ekonomi masyarakat harus sejalan dengan perlindungan hutan.
Petani telah dibekali berbagai fasilitas untuk meningkatkan kapasitas
teknis dan manajemen pengelolaan perkebunan dengan menerapkan
standar-standar ramah lingkungan di kebun mereka.
Contoh lainnya adalah praktik bertanggung jawab yang digagas oleh
perusahaan kelapa sawit seperti GAR(Golden Agri Resources) dan Nestle
yang telah menerapkan kebijakan konservasi High Carbon Stock (HCS)
dengan mengidentifikasi area hutan yang harus dikonservasi dengan
cadangan karbon sebesar 35 ton karbon ekuivalen per hektar.Greenpeace bersama dengan Yayasan Perspektif Baru, dan Yayasan Kehati mendukung inisiatif positif dan mendorong para pemangku kepentingan untuk mengadopsi praktik-praktik bertanggungjawab dengan prinsip berkelanjutan dari contoh tersebut diatas sebagai model pembangunan ekonomi di sektor perkebunan yang mendukung komitmen pemerintah Indonesia dalam upayanya untuk menekan emisi gas rumah kaca. Praktek perkebunan yang berkelanjutan merupakan jalan terbaik untuk mengelola dan satu-satunya cara untuk meningkatkan produktifitas sawit dan beralih pada kebijakan nol deforestasi.
Catatan untuk editor:
0 komentar:
Posting Komentar