KGI-PALM KAMI MENGERTI NILAI HIDUP , PENYEDIA PALM OIL GO GREEN

Senin, 19 Januari 2015

Pelaksana panen,

Perkebunan sebagai salah satu bentuk struktur pertanian kapitalistik, memiliki corak budaya hasil peninggalan kolonialisme
Kebijakan kolonialisme waktu itu, terutama di perkebunan lebih berpihak pada modal dan legitimasi hubungan kerja berbasis ‘kuli kontrak’ melalui kebijakan perburuhan ‘ordonansi koeli’ yang lebih ditujukan untuk mengikat buruh sebagai abdi tuan kebun
Tujuan magang secara umum adalah untuk memperluas wawasan pengetahuan dan meningkatkan keterampilan penulis dalam segi teknis budidaya dan kemampuan manajerial, serta mempersiapkan penulis dalam menghadapi proses kerja nyata. Tujuan khusus adalah mengetahui proses pelaksanaan, dan pengawasan panen, menemukan dan menganalisis permasalahan pemanenan dalam kegiatan manajemen terutama tenaga kerja panen pada tanaman kelapa sawit. Kegiatan magang dilaksanakan selama empat bulan yaitu dari 13 Februari sampai 12 Juni 2009. Tempat pelaksanaan magang di Kebun Mentawak PT Jambi Agro Wijaya, Bakrie Sumatera Plantation, Sarolangun, Jambi. Pada saat dua bulan pertama penulis bersatatus sebagai karyawan harian (KH), kemudian sebagai pendamping mandor selama satu bulan, dan pendamping asisten divisi selama satu bulan. Pada pelaksanaan magang dilakukan pengamatan serta pengumpulan data primer dan data sekunder. Parameter pengamatan mengenai kegiatan panen yaitu angka kerapatan panen, buah matang panen, buah mentah, buah lewat matang panen, brondolan tinggal, panjang gagang TBS, dan produksi per pemanen. Pengambilan contoh tenaga kerja diambil dari Divisi VI secara acak sebanyak 25 orang tenaga kerja panen. Profil tenaga kerja panen diperoleh dengan wawancara dan dari data sekunder karyawan. Penilaian prestasi tenaga kerja panen dikelompokkan berdasarkan variabel umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, lama masa kerja, asal daerah, dan pekerjaan sebelumnya. Korelasi antar beberapa variabel di atas terhadap produksi tenaga kerja panen diuji dengan uji korelasi Rank Spearman. Variabel umur, jumlah tanggungan keluarga, lama masa kerja tidak berkorelasi nyata terhadap prestasi kerja pemanen sedangkan tingkat pendidikan berpengaruh nyata terhadap prestasi kerja pemanen. Perencanaan tenaga kerja panen Kebun Mentawak PT JAW meggunakan rasio 0.05/ha. Tenaga kerja panen dibagi menjadi 2 kemandoran dengan rotasi panen 8-13 hari. Sistem ancak panen yang digunakan adalah ancak giring tetap. Kriteria matang panen yang diterapkan yaitu minimal 1 brondolan per TBS yang telah jatuh di piringan. Permasalahan yang terjadi pada panen yaitu memanen buah mentah, brondolan tidak dikutip, buah matang tinggal di pokok, dan gagang TBS yang panjang. Hal ini menunjukkan masih diperlukan peningkatan pepengawasan dan kurang diberlakukannya sistem denda. Kegiatan magang yang dilakukan di Kebun Mentawak PT JAW meningkatkan pengetahuan dan keterampilan penulis dalam melaksanakan pekerjaan di perkebunan kelapa sawit. Penulis memperoleh pengalaman bekerja dan dapat membandingkan antara teori yang diperoleh dengan praktik di lapangan, baik dari aspek teknis maupun manajemen.
Hubungan kerja yang cenderung eksploitatif, oleh kuatnya wacana kolonialis kemudian terinternalisasi ke dalam struktur hubungan industrial perkebunan.
           Dalam struktur organisasi suatu perkebunan jelas nampak perbedaan (seperti kesenjangan) antara buruh dengan manajemen
           Terdapat perbedaan tentang derajat kesenjangan , jika dilihat dari aspek karakteristik wilayah dimana perkebunan itu berada.
           Diperkebunan yang relatif dekat dengan daerah urban  atau sub urban akan sangat berbeda dengan daerah
           yang relatif terisolir dan jauh dari pusat ekonomi, kekuasaan, dan peradaban
           Beberapa contoh upaya pemeliharaan stratifikasi sosial di linkungan perkebunan:
           Dari segi pengaturan tata ruang pola pemukiman, perumahan staff termasuk ke dalam perumahan yang cukup mewah lengkap dengan segala fasilitas, untuk karyawan tetap bulanan tinggal di perumahan tipe G1, untuk karyawan tetap harian tinggal di perumahan G4-10, sedangkan untuk karyawan tidak tetap (BHL) tinggal di barak barak dengan kompartemen yan sempit
           Dari segi piranti upah, adanya perbedaan komponen dan nilai nominal upah, pada berbagai level pekerja dari mulai BHL sampai pada level staff.
            Contoh perbedaan komponen upah :
            Untuk Level Staff, selain gaji pokok ada tambahan tunjangan seperti tunjangan masa jabatan, transportasi, tunjangan khusus daerah , dll
            Untuk KT-Bulanan, nilai nominal gaji pokok di atas UMP , ada sistim penggolongan untuk peningkatan prestasi, ditambah dengan catu beras dan lembur, atau premi.
            Untuk KT-Harian, nilai nominal gaji pokok sama dengan UMP, tidak sistim penggolongan, ditambah catu beras, dan lembur atau premi
            Sedangkan BHL, nilai upah dihitung berdasarkan kehadiran atau prestasi borongan.
            Tujuan pembentukan stratifikasi di lingkungan perkebunan adalah untuk memudahkan proses pengawasan (kontrol) terhadap para pekerja
            Didalam Emplacement, mandor merupakan salah satu piranti penting dalam pengawasan pekerja (buruh), dan merupakan ujung tombak dalam pencapaian target target perusahaan.
            Mereka ditempatkan sebagai panutan utama bagi komunitas emplacemen dengan menyediakan rumah yang sedikit berbeda dengan rumah buruh (pekerja) dan berbaur bersama buruh.
            Buruh Harian lepas (BHL) biasa juga disebut sebagai annemer.
            Di lingkungan komunitas perkebunan istilah ini dikenal untuk membedakan dengan buruh tetap yang lazim dikenal dengan SKU (syarat kerja umum)
            Berbeda dengan SKU yang terikat oleh perjanjian kerja yang memuat hak dan kewajiban kedua belah pihak, sedangkan BHL tidak ada suatu ikatan kepastian kerja permanen antara buruh – majikan
            Ikatan kerja bersifat sementara karena ikatan kerjanya berakhir setelah target terpenuhi . Perjanjian harus diperbaharui setiap waktu dengan perjanjian baru
            Kepmen No.100/ 2004, tentang ketentuan pelaksanaan kerja waktu tertentu, pada pasal 10 menyebutkan :
            Untuk pekerjaan pekerjaan tertentu yang berubah ubah dalam waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas.
            Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan ketentuan pekerja/ buruh bekerja kurang dari 21 hari dalam satu bulan
            Dalam hal pekerja/ buruh bekerja 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT
            Realitas di lapangan masih ada pihak perusahaan yang memperkerjakan BHL selama lebih dari 3 bulan berturut pada pekerjaan yang sama tanpa ada peningkatan status buruh (pengangkatan golongan dari BHL menjadi SKU)
            Pada beberapa kasus sering terjadi konflik, dimana buruh BHL menuntut kenaikan status dan kalau tidak dipenuhi mereka melakukan mogok kerja atau bahkan bisa sampai pada tingkat konflik yang lebih parah lagi
            Konflik ini diperparah lagi dengan masuknya kepentingan kepentingan pihak tertentu yang (dari segi etika) dianggap kurang bertanggung jawab
            Solusi yang bisa ditawarkan :
            Menciptakan pola hubungan yang saling membutuhkan (menguntungkan) antara majikan – buruh
            Mengembangkan sikap keterbukaan sehingga dicapai hubungan yang dialogis antara majikan – buruh
            Tertib administrasi, terutama pada waktu rekruitmen dan penerimaan buruh untuk bekerja.
            Negara (pemerintah) memberikan pengawasan dalam hal ketenaga kerjaan, dan harus lebih bersifat netral agar tercapai kesejahteraan bagi semua pihak baik buruh maupun pengusaha (perkebunan)





























 


0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger