Perkebunan sebagai salah satu bentuk struktur pertanian
kapitalistik, memiliki corak budaya hasil peninggalan kolonialisme
Kebijakan kolonialisme waktu itu, terutama di perkebunan
lebih berpihak pada modal dan legitimasi hubungan kerja berbasis ‘kuli kontrak’
melalui kebijakan perburuhan ‘ordonansi koeli’ yang lebih ditujukan untuk
mengikat buruh sebagai abdi tuan kebun
Tujuan magang secara umum adalah untuk memperluas wawasan
pengetahuan dan meningkatkan keterampilan penulis dalam segi teknis budidaya
dan kemampuan manajerial, serta mempersiapkan penulis dalam menghadapi proses
kerja nyata. Tujuan khusus adalah mengetahui proses pelaksanaan, dan pengawasan
panen, menemukan dan menganalisis permasalahan pemanenan dalam kegiatan
manajemen terutama tenaga kerja panen pada tanaman kelapa sawit. Kegiatan
magang dilaksanakan selama empat bulan yaitu dari 13 Februari sampai 12 Juni
2009. Tempat pelaksanaan magang di Kebun Mentawak PT Jambi Agro Wijaya, Bakrie
Sumatera Plantation, Sarolangun, Jambi. Pada saat dua bulan pertama penulis
bersatatus sebagai karyawan harian (KH), kemudian sebagai pendamping mandor
selama satu bulan, dan pendamping asisten divisi selama satu bulan. Pada
pelaksanaan magang dilakukan pengamatan serta pengumpulan data primer dan data
sekunder. Parameter pengamatan mengenai kegiatan panen yaitu angka kerapatan
panen, buah matang panen, buah mentah, buah lewat matang panen, brondolan
tinggal, panjang gagang TBS, dan produksi per pemanen. Pengambilan contoh
tenaga kerja diambil dari Divisi VI secara acak sebanyak 25 orang tenaga kerja
panen. Profil tenaga kerja panen diperoleh dengan wawancara dan dari data
sekunder karyawan. Penilaian prestasi tenaga kerja panen dikelompokkan
berdasarkan variabel umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, lama
masa kerja, asal daerah, dan pekerjaan sebelumnya. Korelasi antar beberapa
variabel di atas terhadap produksi tenaga kerja panen diuji dengan uji korelasi
Rank Spearman. Variabel umur, jumlah tanggungan keluarga, lama masa kerja tidak
berkorelasi nyata terhadap prestasi kerja pemanen sedangkan tingkat pendidikan
berpengaruh nyata terhadap prestasi kerja pemanen. Perencanaan tenaga kerja
panen Kebun Mentawak PT JAW meggunakan rasio 0.05/ha. Tenaga kerja panen dibagi
menjadi 2 kemandoran dengan rotasi panen 8-13 hari. Sistem ancak panen yang
digunakan adalah ancak giring tetap. Kriteria matang panen yang diterapkan
yaitu minimal 1 brondolan per TBS yang telah jatuh di piringan. Permasalahan
yang terjadi pada panen yaitu memanen buah mentah, brondolan tidak dikutip,
buah matang tinggal di pokok, dan gagang TBS yang panjang. Hal ini menunjukkan
masih diperlukan peningkatan pepengawasan dan kurang diberlakukannya sistem
denda. Kegiatan magang yang dilakukan di Kebun Mentawak PT JAW meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan penulis dalam melaksanakan pekerjaan di perkebunan
kelapa sawit. Penulis memperoleh pengalaman bekerja dan dapat membandingkan
antara teori yang diperoleh dengan praktik di lapangan, baik dari aspek teknis
maupun manajemen.
Hubungan kerja yang cenderung eksploitatif, oleh kuatnya
wacana kolonialis kemudian terinternalisasi ke dalam struktur hubungan
industrial perkebunan.
–
Dalam struktur organisasi suatu perkebunan jelas
nampak perbedaan (seperti kesenjangan) antara buruh dengan manajemen
–
Terdapat perbedaan tentang derajat kesenjangan ,
jika dilihat dari aspek karakteristik wilayah dimana perkebunan itu berada.
–
Diperkebunan yang relatif dekat dengan daerah
urban atau sub urban akan sangat berbeda
dengan daerah
–
yang relatif terisolir dan jauh dari pusat
ekonomi, kekuasaan, dan peradaban
–
Beberapa contoh upaya pemeliharaan stratifikasi
sosial di linkungan perkebunan:
–
Dari segi pengaturan tata ruang pola pemukiman,
perumahan staff termasuk ke dalam perumahan yang cukup mewah lengkap dengan segala
fasilitas, untuk karyawan tetap bulanan tinggal di perumahan tipe G1, untuk
karyawan tetap harian tinggal di perumahan G4-10, sedangkan untuk karyawan
tidak tetap (BHL) tinggal di barak barak dengan kompartemen yan sempit
–
Dari segi piranti upah, adanya perbedaan
komponen dan nilai nominal upah, pada berbagai level pekerja dari mulai BHL
sampai pada level staff.
•
Contoh perbedaan komponen upah :
•
Untuk Level Staff, selain gaji pokok ada
tambahan tunjangan seperti tunjangan masa jabatan, transportasi, tunjangan
khusus daerah , dll
•
Untuk KT-Bulanan, nilai nominal gaji pokok di
atas UMP , ada sistim penggolongan untuk peningkatan prestasi, ditambah dengan
catu beras dan lembur, atau premi.
•
Untuk KT-Harian, nilai nominal gaji pokok sama
dengan UMP, tidak sistim penggolongan, ditambah catu beras, dan lembur atau
premi
•
Sedangkan BHL, nilai upah dihitung berdasarkan
kehadiran atau prestasi borongan.
•
Tujuan pembentukan stratifikasi di lingkungan
perkebunan adalah untuk memudahkan proses pengawasan (kontrol) terhadap para
pekerja
•
Didalam Emplacement, mandor merupakan salah satu
piranti penting dalam pengawasan pekerja (buruh), dan merupakan ujung tombak
dalam pencapaian target target perusahaan.
•
Mereka ditempatkan sebagai panutan utama bagi
komunitas emplacemen dengan menyediakan rumah yang sedikit berbeda dengan rumah
buruh (pekerja) dan berbaur bersama buruh.
•
Buruh Harian lepas (BHL) biasa juga disebut
sebagai annemer.
•
Di lingkungan komunitas perkebunan istilah ini
dikenal untuk membedakan dengan buruh tetap yang lazim dikenal dengan SKU
(syarat kerja umum)
•
Berbeda dengan SKU yang terikat oleh perjanjian
kerja yang memuat hak dan kewajiban kedua belah pihak, sedangkan BHL tidak ada
suatu ikatan kepastian kerja permanen antara buruh – majikan
•
Ikatan kerja bersifat sementara karena ikatan
kerjanya berakhir setelah target terpenuhi . Perjanjian harus diperbaharui
setiap waktu dengan perjanjian baru
•
Kepmen No.100/ 2004, tentang ketentuan
pelaksanaan kerja waktu tertentu, pada pasal 10 menyebutkan :
•
Untuk pekerjaan pekerjaan tertentu yang berubah
ubah dalam waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran,
dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas.
•
Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan ketentuan pekerja/ buruh bekerja kurang
dari 21 hari dalam satu bulan
•
Dalam hal pekerja/ buruh bekerja 21 hari atau
lebih selama 3 bulan berturut turut atau lebih maka perjanjian kerja harian
lepas berubah menjadi PKWTT
•
Realitas di lapangan masih ada pihak perusahaan
yang memperkerjakan BHL selama lebih dari 3 bulan berturut pada pekerjaan yang
sama tanpa ada peningkatan status buruh (pengangkatan golongan dari BHL menjadi
SKU)
•
Pada beberapa kasus sering terjadi konflik,
dimana buruh BHL menuntut kenaikan status dan kalau tidak dipenuhi mereka
melakukan mogok kerja atau bahkan bisa sampai pada tingkat konflik yang lebih
parah lagi
•
Konflik ini diperparah lagi dengan masuknya
kepentingan kepentingan pihak tertentu yang (dari segi etika) dianggap kurang
bertanggung jawab
•
Solusi yang bisa ditawarkan :
•
Menciptakan pola hubungan yang saling
membutuhkan (menguntungkan) antara majikan – buruh
•
Mengembangkan sikap keterbukaan sehingga dicapai
hubungan yang dialogis antara majikan – buruh
•
Tertib administrasi, terutama pada waktu rekruitmen
dan penerimaan buruh untuk bekerja.
•
Negara (pemerintah) memberikan pengawasan dalam
hal ketenaga kerjaan, dan harus lebih bersifat netral agar tercapai
kesejahteraan bagi semua pihak baik buruh maupun pengusaha (perkebunan)
0 komentar:
Posting Komentar