Perkembangan industri kelapa sawit Indonesia yang menakjubkan
selama 20 tahun terakhir tidak terlepas dari peran bahan tanaman di dalamnya.
Meski hanya berkontribusi 7-8% dari total biaya produksi, namun keberadaan
bahan tanaman sangat menentukan berhasil atau tidaknya suatu perkebunan.
Pemilihan bahan tanaman dengan kualitas unggul menjamin tingkat produksi yang
stabil untuk masa ekonomi selama 25 tahun. Karakter unggul varietas
kelapa sawit dapat dilihat dari mutu genetis (potensi hasil tinggi), mutu
fisiologis (daya tumbuh), dan mutu morfologis (keseragaman dan higienitas
benih).
Pemerintah Indonesia telah merilis 37 varietas kelapa sawit
dengan berbagai karakter unggulan yang menyertainya. Varietas-varietas ini
berasal dari 9 produsen benih (8 produsen dalam negeri, 1 produsen dari luar
negeri), yang umumnya berlokasi di wilayah Sumatera. Dengan kapasitas produksi
sekitar 225 juta benih per tahun, dan pilihan yang semakin beragam, sebenarnya
tidak ada alasan bagi pekebun untuk tidak menggunakan benih yang telah
bersertifikasi secara resmi. Namun demikian, kesulitan dalam distribusi dan
akses untuk mendapatkan benih unggul masih sering terjadi khususnya di remote
area, seperti area pengembangan di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Upaya
dari produsen benih melalui sistem waralaba bibit diharapkan mampu untuk
mengurangi kesenjangan akses dalam mendapat benih kelapa sawit unggul.
Bagaimana sebuah varietas unggul kelapa sawit dirakit?
Perakitan varietas unggul kelapa sawit dilakukan melalui proses yang sangat
panjang, tenaga ahli dari berbagai bidang ilmu, lokasi pengujian yang luas,
serta biaya yang tidak sedikit. Kegiatan perakitan ini memadukan antara
teknologi, seni dan intuisi dalam proses persilangan, pengujian, seleksi, dan
perbanyakan. Kita mengenal kegiatan perakitan varietas unggul ini sebagai aktivitas
pemuliaan tanaman. Dalam proses pemuliaan kelapa sawit, setidaknya terdapat
empat komponen yang menjadi persyaratan, yaitu: (1) material genetik
dengan variasi sifat di dalamnya, dikenal sebagai populasi dasar; (2) tujuan
pemuliaan, yakni ideotype tanaman dengan sifat/karakter yang
diinginkan; (3) metode seleksi, cara menguji dan memilih individu/populasi
untuk sifat yang diinginkan; (4) reproduksi, metode perbanyakan benih/bahan
tanaman dari individu hasil seleksi.
Material genetik
Empat benih kelapa sawit jenis dura yang diintroduksi oleh
kolonial Belanda pada tahun 1848 di Kebun Raya Bogor, dan kemudian dikembangkan
di daerah Deli, Sumatera Utara menjadi populasi dasar hampir seluruh program
pemuliaan kelapa sawit di dunia. Populasi ini dikenal sebagai dura Deli,
yang memiliki karakter cangkang yang tebal, bobot tandan yang besar, dan jumlah
tandan yang sedikit. Penemuan sifat ketebalan cangkang pada kelapa sawit pada
1941, yang berkorelasi dengan tingkat produksi minyak menjadi tonggak dasar
untuk pelibatan populasi tenera/pisifera dalam program pemuliaan kelapa sawit.
Populasi tenera/pisifera yang digunakan dalam pemuliaan kelapa sawit di
Indonesia umumnya diintroduksi dari Afrika (Zaire, Kamerun, Nigeria, dan Pantai
Gading). Populasi ini memiliki karakter cangkang yang tipis untuk tenera, non
cangkang pada pisifera, bobot tandan yang rendah, dan jumlah tandan yang
banyak. Kedua populasi, dura dan tenera/pisifera, memiliki sifat-sifat yang
saling komplemen yang dibutuhkan dalam perakitan varietas unggul.
Tujuan pemuliaan
Produksi minyak yang tinggi masih menjadi fokus utama dalam
program pemuliaan kelapa sawit. Fokus lainnya adalah merakit varietas yang
memiliki sifat ketahanan/toleransi terhadap penyakit, khususnya Ganoderma.
Seiring dengan tuntutan konsumen yang menaruh perhatian kepada faktor kualitas
minyak, tujuan pemuliaan juga diarahkan untuk merakit varietas dengan kandungan
beta karoten dan asam lemak tak jenuh yang tinggi, dan tambahan komponen minor
lainnya seperti tocopherol dan tocotrienol. Karakter-karakter yang memudahkan
untuk panen, seperti tanaman dengan laju pertumbuhan meninggi yang lambat,
tangkai tandan yang panjang, buah yang tidak mudah memberondol, dan perbedaan
warna buah yang jelas antara tandan mentah dan tandan matang juga mulai menjadi
perhatian para pemulia kelapa sawit.
Metode seleksi
Metode klasik
Seleksi awal pada populasi dasar dilakukan dengan
memilih individu terbaik berdasarkan karakter produksi minyak yang
tinggi. Pemilihan individu berproduksi minyak tinggi dilakukan berdasarkan karakter
komponen hasil yang mudah diidentifikasi secara morfologi dan cepat dalam
analisis laboratorium, seperti karakter persentase mesokarp pada buah.
Karakter ini memiliki tingkat heritabilitas yang tinggi, selalu diwariskan dari
tetua kepada turunannya. Individu-individu terpilih tersebut selanjutnya saling
disilangkan untuk mengeksploitasi sifat-sifat terbaik mengikuti strategi
seleksi yang telah ditetapkan.
Saat ini dikenal dua strategi seleksi yang digunakan secara
luas, yakni reciprocal recurrent selection (RRS), dan family/individuals
palm selection (FIPS). RRS bertujuan untuk mengeksploitasi heterosis pada
persilangan antara orijin-orijin tertentu. Material genetik pada strategi RRS
dibagi menjadi dua grup heterotik, A dan B, yang memiliki sifat-sifat
komplementer (melengkapi) di antara keduanya. Metode RRS memiliki keterbatasan
dengan adanya inbreeding depression di masing-masing grup (A dan B)
sebagai akibat proses silang dalam (selfing) yang berulang kali.
Strategi FIPS bertujuan untuk menseleksi tetua berdasarkan nilai fenotipik dan
daya gabung umumnya. Bila ada satu individu terpilih, maka individu lain yang
masih dalam satu famili juga dapat dipilih.
Di dalam setiap strategi pemuliaan, terdapat proses pengujian
di lapang untuk mengetahui daya hasil dari persilangan antar tetua. Pengujian
dilakukan dengan menanam hasil persilangan berdasarkan desain percobaan
tertentu di berbagai lokasi. Pengujian dilakukan minimal 7 tahun, untuk
mengetahui keragaan pertumbuhan saat masa belum menghasilkan (sekitar 3
tahun) dan keragaan produksi (tanaman menghasilkan, TM) selama 4 tahun.
Pada masa pengujian ini, berbagai paramater seleksi diamati, khususnya
yang berkaitan dengan hasil dan komponen hasil, toleransi terhadap penyakit,
dan kualitas minyak yang dihasilkan. Persilangan terbaik dengan produksi minyak
yang tinggi selanjutnya dipilih untuk diperbanyak. Reproduksi/perbanyakan benih
dari persilangan terbaik dilakukan melalui persilangan terkontrol (controlled
pollination) dari kedua tetua, dan juga melalui teknik kultur jaringan.
Teknik molekuler
Metode lain yang saat ini tengah dikembangkan untuk mendukung
pemuliaan kelapa sawit adalah teknik molekuler. Metode ini diarahkan untuk
mencari marka molekuler di level DNA yang berasosiasi dengan karakter-karakter
unggulan, sehingga kegiatan seleksi nantinya dapat dilakukan lebih awal, dan
dapat mereduksi siklus seleksi. Penggunaan marka molekuler untuk membantu
kegiatan seleksi dikenal sebagai marker assisted selection (MAS).
Metode ini sudah banyak diterapkan untuk pemuliaan tanaman semusim seperti
jagung, gandum, dan barley. Untuk tanaman kelapa sawit, penelitian tentang
metode ini tengah berjalan, sehingga masih memerlukan waktu untuk penerapannya.
Pendekatan yang menjadi terobosan besar dalam pemuliaan
tanaman adalah pembentukan populasi doubled haploid yang diperoleh
dari hasil penumbuhan tepung sari (pollen) pada media kultur jaringan yang
dikombinasikan dengan perlakuan hormon. Ide pembentukan populasi doubled
haploid berdasar pada teori bahwa sifat heterosis pada turunan F1 akan
dapat dieksploitasi secara penuh bila tetua-tetua dari F1 tersebut dalam
kondisi homozigot. Meski beberapa permasalahan dalam vigor tanaman akan
ditemui, seperti pertumbuhan yang kurang dan albino pada daun sebagai dampak
dari berkumpulnya gen-gen yang resesif, namun teknologi ini memberikan harapan
bagi pemulia untuk dapat merakit varietas dengan tingkat produksi mendekati
potensial genetiknya.
Teknologi alternatif lainnya adalah melalui proses rekayasa
genetik. Teknologi ini mengubah susunan genetik pada tanaman yang berdampak
kepada berubahnya jalur biosintesis untuk karakter yang diinginkan. Salah
satunya melalui proses transformasi yakni penyisipan potongan DNA asing, yang
telah diketahui efek genetiknya, yang disisipkan ke dalam rangkaian DNA dari populasi
pemuliaan. Metode ini telah diterapkan pada beberapa komoditas penting
seperti jagung dan kedelai, khususnya untuk sifat ketahanan terhadap hama.
Untuk kelapa sawit, penelitian tentang transformasi genetik telah diinisiasi
oleh beberapa lembaga riset luar negeri, namun masih memerlukan waktu yang
cukup panjang untuk memperoleh hasil yang stabil.
Senin, 19 Januari 2015
Inovasi varietas kelapa sawit


0 komentar:
Posting Komentar