POHON INDUSTRI MINYAK GORENG DARI KELAPA SAWIT
Minyak
goreng sawit adalah minyak goreng yang diperoleh dari proses pengolahan
di industri minyak goreng yang meliputi beberapa tahapan proses. Minyak
goreng sawit diperoleh setelah CPO (Crude Palm Oil) diproses melalui
tahap pemurnian, pemucatan dan deodorisasi untuk menghilangkan bau tak
sedap dari minyak. Setelah melalui tahap ini minyak yang dihasilkan
biasanya disebut sebagai minyak RBDPO (Refine Bleach Deodorized Palm
Oil), dimana minyak ini masih mengandung fraksi stearin yang merupakan
fraksi padat dari minyak sawit.
Minyak
goreng yang umum adalah minyak goreng yang dihasilkan setelah proses
fraksinasi untuk memisahkan fraksi padatan (stearin) dari minyak cairnya
(olein). Sebenarnya RBDPO, RBD Olein dan RBD Stearin merupakan minyak
yang dapat dipakai untuk menggoreng, tetapi di pasaran dan berdasarkan
estetika, maka minyak goreng yang baik menurut konsumen adalah minyak
goreng yang tidak menggumpal pada saat cuaca dingin. Sehingga yang umum
dimaksud dan diberi nama minyak goreng adalah RBD olein (fraksi cair
dari RBDPO).
Berdasarkan
ketiga jenis minyak goreng yang biasa digunakan di atas, yang dapat
digunakan hanya RBD olein yang banyak diperdagangkan sebagai minyak
goreng. Tetapi dalam aplikasinya ketiga jenis minyak goreng tersebut
digunakan oleh para konsumen. RBD stearin dan RBDPO biasanya digunakan
oleh restoran yang menggunakan sistem penggorengan model deep frying,
yang mana cara menggoreng ini membutuhkan jumlah minyak yang besar dan
suhu penggorengan yang tinggi, sehingga minyak goreng RBDPO dan RBD
stearin lebih cocok. Dengan sistem penggorengan model ini, maka akan
dihasilkan gorengan makanan yang kering dan renyah (crispy), yang tidak
mungkin diperoleh dengan cara menggoreng menggunakan minyak goreng cair
(fraksi olein). RBDPO dan RBD stearin ini biasanya digunakan sebagai
minyak goreng untuk restoran fast food yang banyak melakukan akivitas menggoreng, seperti Mac Donald, Kentucky Fried Chiken, dan lain-lain.
Kelemahan
dari penggunaan minyak goreng RBDPO dan RBD stearin ini adalah
kandungan minyak jenuhnya, dimana minyak jenuh ini akan meningkatkan
kandungan kolesterol darah, yang tidak baik bagi orang yang berusia
lanjut atau mempunyai penyakit jantung. Dengan demikian, bagi penderita
jantung dan orang lanjut usia sebaiknya tidak banyak mengkonsumsi
makanan yang dijual di restoran fast food.
DIVERSIFIKASI PRODUK
Perkembangan
industri minyak goreng kelapa sawit saat ini sangat pesat jika
dibandingkan dengan industri minyak goreng dari kelapa. Perkembangan ini
tidak selalu diikuti dengan usaha untuk melakukan diversifikasi
terhadap produk lainnya atau produk turunannya. Jika dibandingkan dengan
negara Malaysia, maka diversifikasi produk dan pengembangan industri
hilir yang berbahan baku minyak goreng di Indonesia masih sangat lemah.
Saat ini industri minyak goreng yang besar hanya mengembangkan produk
yang berhubungan dengan produk pangan, sedangkan industri hilir (seperti
oleokimia) masih sangat jarang.
Usaha
diversifikasi produk dari industri yang berbasis minyak goreng masih
sangat minim, sedangkan pengembangan dan diversifikasi untuk produk
pangan seperti margarin, shortening, Vanaspati, Frying fat,dan
lain-lain, sudah banyak dilakukan terutama untuk industri yang skala
besar. Untuk industri yang skala kecil diversifikasi ini juga masih
sangat sulit dilakukan. Pada saat ini, industri minyak goreng yang besar
sudah selayaknya mengembangkan industri hilirnya, seperti oleokimia,
asam lemak dan amina sebagai bahan dasar industri lainnya.
Kondisi
pengembangan industri hilir minyak sawit dewasa ini menarik untuk
dikaji, karena nilai investasi yang ditanamkan dalam industri minyak
sawit dan turunannya cukup besar. Pertimbangan pengembangan
diversifikasi produk turunan minyak goreng dipaparkan sebagai berikut.
1.
Investasi masih terkonsentrasi pada beberapa produk seperti minyak
goreng, yang mempunyai nilai tambah relatif rendah. Bahan baku CPO yang
terserap dalam industri minyak goreng mencapai 86 % dari total produksi.
Hal itu menunjukkan rendahnya tingkat diversifikasi produk industri
kelapa sawit, dibandingkan dengan misalnya negara Malaysia, yang saat
ini lebih berorientasi pada pengembangan produk oleokimia dan turunannya
dengan tujuan untuk mendapatkan nilai tambah yang lebih tinggi.
2.
Konsentrasi industri hilir di beberapa tempat menyebabkan kenaikan
biaya transportasi bahan baku dan produk jadi, sehingga menimbulkan
inefisiensi dan menimbulkan kenaikan biaya produksi dan harga jual
produk.
3.
Sebagian besar kapasitas terpasang pabrik melebihi tingkat produksi
(23,2 % dari kapasitas terpasang) yang berarti telah terjadi over investasi dalam industri ini (Depperindag, 1995).
4.
Masih banyaknya peluang yang belum dikembangkan secara optimal seperti
industri pengolahan hasil sampingan atau produk turunan dari minyak
goreng.
PETA KOMODITAS MINYAK GORENG
Industri
minyak goreng di Indonesia pada saat ini sebagian besar menggunakan
bahan baku dari kelapa sawit dan sedikit industri yang memakai bahan
baku dari kopra. Industri minyak goreng berbahan baku minyak sawit,
umumnya diusahakan oleh swasta dan perkebunan negara, baik yang skalanya
besar maupun menengah, sedangkan industri minyak goreng yang berbahan
baku kelapa, biasanya diusahakan oleh industri kecil dan industri rumah
tangga. Berdasarkan data dari Ditjen IKAH Depperindag (1999), jumlah
industri minyak goreng eks kelapa sawit di Indonesia tahun 1998
berjumlah 58 buah dengan kapasitas industri 8.589.532 ton/tahun, dengan
penyebaran lokasinya sebagai berikut; Sumatera 32 industri dengan
kapasitas ijin 4.844.482 ton/tahun (57,79 %), Jawa 23 industri dengan
kapasitas terpasang 3.517.055 ton/tahun (40,36 %), Kalimantan 2 industri
dengan kapasitas industri 60.000 ton/tahun (0,47 %) dan Sulawesi Tengah
dengan 1 industri berkapasitas produksi sebesar 168.000 ton/tahun (1,38
%).
Perkembangan
industri minyak goreng dari sawit meningkat tajam, dengan laju
pertumbuhan 45 %/tahun. Perkembangan ini didorong oleh permintaan pasar
dalam negeri yang terus meningkat dan harga minyak yang relatif stabil
serta dukungan dari pemerintah dalam pengembangan industri minyak goreng
dari sawit. Sedangkan perusahaan minyak goreng dari kopra, jumlah
perusahaannnya terus berkurang dengan laju penurunan 11 %/tahun.
Penurunan jumlah industri ini dikarenakan beberapa faktor antara lain :
(1) harga kelapa segar dan kelapa muda yang relatif lebih mahal, (2)
harga gula kelapa yang lebih menarik dari pada dibiarkan tua dijadikan
kopra.
0 komentar:
Posting Komentar