KGI-PALM KAMI MENGERTI NILAI HIDUP , PENYEDIA PALM OIL GO GREEN

Selasa, 20 Januari 2015

on

POHON INDUSTRI MINYAK GORENG DARI KELAPA SAWIT
Minyak goreng sawit adalah minyak goreng yang diperoleh dari proses pengolahan di industri minyak goreng yang meliputi beberapa tahapan proses. Minyak goreng sawit diperoleh setelah CPO (Crude Palm Oil) diproses melalui tahap pemurnian, pemucatan dan deodorisasi untuk menghilangkan bau tak sedap dari minyak. Setelah melalui tahap ini minyak yang dihasilkan biasanya disebut sebagai minyak RBDPO (Refine Bleach Deodorized Palm Oil), dimana minyak ini masih mengandung fraksi stearin yang merupakan fraksi padat dari minyak sawit.
Minyak goreng yang umum adalah minyak goreng yang dihasilkan setelah proses fraksinasi untuk memisahkan fraksi padatan (stearin) dari minyak cairnya (olein). Sebenarnya RBDPO, RBD Olein dan RBD Stearin merupakan minyak yang dapat dipakai untuk menggoreng, tetapi di pasaran dan berdasarkan estetika, maka minyak goreng yang baik menurut konsumen adalah minyak goreng yang tidak menggumpal pada saat cuaca dingin. Sehingga yang umum dimaksud dan diberi nama minyak goreng adalah RBD olein (fraksi cair dari RBDPO).
Berdasarkan ketiga jenis minyak goreng yang biasa digunakan di atas, yang dapat digunakan hanya RBD olein yang banyak diperdagangkan sebagai minyak goreng. Tetapi dalam aplikasinya ketiga jenis minyak goreng tersebut digunakan oleh para konsumen. RBD stearin dan RBDPO biasanya digunakan oleh restoran yang menggunakan sistem penggorengan model deep frying, yang mana cara menggoreng ini membutuhkan jumlah minyak yang besar dan suhu penggorengan yang tinggi, sehingga minyak goreng RBDPO dan RBD stearin lebih cocok. Dengan sistem penggorengan model ini, maka akan dihasilkan gorengan makanan yang kering dan renyah (crispy), yang tidak mungkin diperoleh dengan cara menggoreng menggunakan minyak goreng cair (fraksi olein). RBDPO dan RBD stearin ini biasanya digunakan sebagai minyak goreng untuk restoran fast food yang banyak melakukan akivitas menggoreng, seperti Mac Donald, Kentucky Fried Chiken, dan lain-lain.
Kelemahan dari penggunaan minyak goreng RBDPO dan RBD stearin ini adalah kandungan minyak jenuhnya, dimana minyak jenuh ini akan meningkatkan kandungan kolesterol darah, yang tidak baik bagi orang yang berusia lanjut atau mempunyai penyakit jantung. Dengan demikian, bagi penderita jantung dan orang lanjut usia sebaiknya tidak banyak mengkonsumsi makanan yang dijual di restoran fast food.
DIVERSIFIKASI PRODUK
Perkembangan industri minyak goreng kelapa sawit saat ini sangat pesat jika dibandingkan dengan industri minyak goreng dari kelapa. Perkembangan ini tidak selalu diikuti dengan usaha untuk melakukan diversifikasi terhadap produk lainnya atau produk turunannya. Jika dibandingkan dengan negara Malaysia, maka diversifikasi produk dan pengembangan industri hilir yang berbahan baku minyak goreng di Indonesia masih sangat lemah. Saat ini industri minyak goreng yang besar hanya mengembangkan produk yang berhubungan dengan produk pangan, sedangkan industri hilir (seperti oleokimia) masih sangat jarang.
Usaha diversifikasi produk dari industri yang berbasis minyak goreng masih sangat minim, sedangkan pengembangan dan diversifikasi untuk produk pangan seperti margarin, shortening, Vanaspati, Frying fat,dan lain-lain, sudah banyak dilakukan terutama untuk industri yang skala besar. Untuk industri yang skala kecil diversifikasi ini juga masih sangat sulit dilakukan. Pada saat ini, industri minyak goreng yang besar sudah selayaknya mengembangkan industri hilirnya, seperti oleokimia, asam lemak dan amina sebagai bahan dasar industri lainnya.
Kondisi pengembangan industri hilir minyak sawit dewasa ini menarik untuk dikaji, karena nilai investasi yang ditanamkan dalam industri minyak sawit dan turunannya cukup besar. Pertimbangan pengembangan diversifikasi produk turunan minyak goreng dipaparkan sebagai berikut.
1. Investasi masih terkonsentrasi pada beberapa produk seperti minyak goreng, yang mempunyai nilai tambah relatif rendah. Bahan baku CPO yang terserap dalam industri minyak goreng mencapai 86 % dari total produksi. Hal itu menunjukkan rendahnya tingkat diversifikasi produk industri kelapa sawit, dibandingkan dengan misalnya negara Malaysia, yang saat ini lebih berorientasi pada pengembangan produk oleokimia dan turunannya dengan tujuan untuk mendapatkan nilai tambah yang lebih tinggi.
2. Konsentrasi industri hilir di beberapa tempat menyebabkan kenaikan biaya transportasi bahan baku dan produk jadi, sehingga menimbulkan inefisiensi dan menimbulkan kenaikan biaya produksi dan harga jual produk.
3. Sebagian besar kapasitas terpasang pabrik melebihi tingkat produksi (23,2 % dari kapasitas terpasang) yang berarti telah terjadi over investasi dalam industri ini (Depperindag, 1995).
4. Masih banyaknya peluang yang belum dikembangkan secara optimal seperti industri pengolahan hasil sampingan atau produk turunan dari minyak goreng.
PETA KOMODITAS MINYAK GORENG
Industri minyak goreng di Indonesia pada saat ini sebagian besar menggunakan bahan baku dari kelapa sawit dan sedikit industri yang memakai bahan baku dari kopra. Industri minyak goreng berbahan baku minyak sawit, umumnya diusahakan oleh swasta dan perkebunan negara, baik yang skalanya besar maupun menengah, sedangkan industri minyak goreng yang berbahan baku kelapa, biasanya diusahakan oleh industri kecil dan industri rumah tangga. Berdasarkan data dari Ditjen IKAH Depperindag (1999), jumlah industri minyak goreng eks kelapa sawit di Indonesia tahun 1998 berjumlah 58 buah dengan kapasitas industri 8.589.532 ton/tahun, dengan penyebaran lokasinya sebagai berikut; Sumatera 32 industri dengan kapasitas ijin 4.844.482 ton/tahun (57,79 %), Jawa 23 industri dengan kapasitas terpasang 3.517.055 ton/tahun (40,36 %), Kalimantan 2 industri dengan kapasitas industri 60.000 ton/tahun (0,47 %) dan Sulawesi Tengah dengan 1 industri berkapasitas produksi sebesar 168.000 ton/tahun (1,38 %).
Perkembangan industri minyak goreng dari sawit meningkat tajam, dengan laju pertumbuhan 45 %/tahun. Perkembangan ini didorong oleh permintaan pasar dalam negeri yang terus meningkat dan harga minyak yang relatif stabil serta dukungan dari pemerintah dalam pengembangan industri minyak goreng dari sawit. Sedangkan perusahaan minyak goreng dari kopra, jumlah perusahaannnya terus berkurang dengan laju penurunan 11 %/tahun. Penurunan jumlah industri ini dikarenakan beberapa faktor antara lain : (1) harga kelapa segar dan kelapa muda yang relatif lebih mahal, (2) harga gula kelapa yang lebih menarik dari pada dibiarkan tua dijadikan kopra.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger